Rabu, 02 Februari 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL



SEJARAH PERKEMBANGAN




A.    Awal Perkembangan Hukum Perdata Internasional (HPI)

Di dalam sejarah perkembangan HPI, tampaknya perdagangan (pada tahap permulaan adalah pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaidah-kaidah HPI. Pada jaman romawi kuno segala persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara orang romawi dan pedagang asingdiselesaikan oleh hakim oengadilan khusus yang disebut praetor peregrinis. Hokum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hokum yang berlaku bagi para cives romawi, yaitu ius civile yang telah disesuaikan dengan pergaulan internasional. Ius civile yang telah diadaptasi untuk hubungan internasional itu kemudian disebut Ius Gentium.

Sebagaimana halnya ius civile, Ius Gentium juga memuat kaidah-kaidah yang dikatagorikan ke dalam ius privatum dan ius publicum. Ius Gentium yang menjadi bagian ius privatum berkembang menjadi HPI. Sedangkan Ius Gentium yang menjadi bagian ius publicum telah berkembang menjadi hokum internasional publik atau territorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas HPI yang penting, misalnya :

a.       Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari temapt benda tersebut berada.
b.      Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembutan perjanjian.
c.       Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.

Di dalam prinsip territorial, hukum yang berlaku bersifat territorial. Setiap wilayah memiliki hukumnya sendiri dan hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang atau benda yang berada di wilayah itu dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu.

B.   Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad 6-10 M)

Pada akhir abad 6M kekaisaran romawi ditaklukkan bangsa “barbar” dari Eropa. Bekas wilayah kekaisaran romawi diduduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya berbeda secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap memberlakukan hokum personal, hokum keluarga serta hokum agamanya masing-masing di daerah yang didudukinya. Dengan demikian prinsip territorial telah berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal hokum yang berlaku digantungkan pada pribadi yang bersangkutan. Sehingga dalam wilayah tertentu mungkin akan berlaku beberapa hokum sekaligus.
Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku bangsa yang berbeda biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah hokum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan hokum mana yang akan diberlakukan.
Beberapa asas HPI yang tumbuh pada masa tersebut yang dewasa ni dapat dikategorikan sebagai asas HPI (yang berasa personal), misalnya :
a.       Asas yang menetapkan bahwa hokum yang berlaku dalam suatu perkara adalah hokum personal dari pihak tergugat.
b.      Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hokum seseorang ditentukan oleh hokum personal orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hokum personal dari masing-masing pihak.
c.       Asa yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur berdasarkan hokum personal si pewaris.
d.      Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hokum personal sang suami.




C.    Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M)

Dikawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur masyarakat geneologis ke masyarakat territorial tampak dari tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris, Prancis, dan Jerman sekarang. Semakin banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hokum mereka sendiri terhadap semua orang dan semua hubungan hokum yang berlangsung diwilayahnya. Dengan perkataan lain tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang dimiliki orang asing dapat begitu saja dicabut penguasa, sehingga dalam keadaan demikian HPI tidak berkembang sama sekali. 
Di kawasan Eropa bagian selatan transformasi dari asa personal genealogis ke asa territorial berlangsung bersamaan dengan pertumubuhan pusat-pusat perdagangan khususnya di Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah genealogis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. Kota-kota perdagangan yang tumbuh pesat itu antara lain Florence, Pisa, Peruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan :
1.      Batas-batas territorial sendiri
2.      System hokum local sendiri yang berlainnya satu dengan yang lainnya dan berbeda pula dengan hokum romawi dan Lombardi yang berlaku umum di seluruh Italia.


D.    Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13-15M)

Seiring makin berkembangnya perdagangan antara warga kota-kota di Italia, penerapan asa territorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali.
System feodal memandang hanya peraturan-peraturan hokum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu hokum masing-masing kota di Italia itu berlainan. Tentunya tidak dapat dipertahankan lagi apabila hak-hak yang telah diperoleh atau kontrak-kontrak yang dibuat di kota A akan dikesampingkan di kota B.
Situasi ini mendorong para ahli hokum di universitas-universitas di Italia untuk mencari asas-asa hokum yang dianggap lebih adil dan wajar. Usaha yang dilakukan adalah dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dala hokum romawi. Mereka inilah yng termasuk golongan postglossatoren.
Dalam mencari dasar hokum yang baru untuk mengatur hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang tunduk pada system hokum yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris dai Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata cuntos popules ques clementiae nostrae regit imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).
Di dalam teks codex tersebut ditemukan Glosse Accursius (1128) yang pada pokoknya menyatakan :
“ apabila seseorang warga bologna digugat di Modena, maka ia janganlah diadili menurut status dari Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga oleh karena dalam Undang-Undang Contos Popolos telah ditentukan … ques nostrae clementiae regit imperium.”
Doktrin yang telah dikemukakan Accursius kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato (1314-1357). Bartolus menghububgkan statuta personalia dengan lex originis dan statute realia dengan kekuasaan territorial hokum itu. Ia membedakan statuta ke dalam statua yang mengijinkan sesuatu dan yang melarang sesuatu.
·         Statuta personalia, statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal. Bahwa statuta itu mengikuti orang (person) dimanapun dia berada.
·         Statuta realia, Statuta yang mempunyai lingkungan kuasa secara terotorial. Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk di bawah  statuta- statutanya.
·         Statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di tempat berlakunya Statuta itu denga segala akibat hukumnya. Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala akibat hukumnya diatur menurut Statuta di tempat perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.

Berdasarkan doktrin Statuta tersebut kemudian dikembangkan metode berfikir HPI sebagai berikut :
1.      Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut persoalan status benda, maka kedudukan hokum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia dari tempat diman benada itu berada. Dalam perkembanganya, cara berfikir realia semacam ini hanya berlaku terhadap benda tetap saja sedang terhadap benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.
2.      Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status personal, maka status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statute personlia dari tempat diman orang tersebut berkediaman tetap (lex domicilii).
3.      Apabila persoalan HPI ysng dihadapi berkenaan dengan bentuk dan atu akibat dari suatu perbuatan hokum, maka bentuk dan akibat perbuatan hokum itu harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat dimana perbuatan itu dilakukan.


E.     Teori Statuta di Perancis (Abad 16)

Pada abad ke-16 propinsi-propinsi di peramcis memiliki hokum tersendiri yang disebut coutume, yang pada hakekatnya sama dengan statuta. Karena ada keanekaragaman coutume tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar propinsi, maka konflik hokum antar propinsi meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hokum perancis, seperti Charles Dumoulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori statute dan menerapkannya di perancis dengan beberapa modifikasi.
Charles Dumoulin memperluas pengertian statuta  personalia hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian. Jadi perjanjian yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta realia menurut  Charles Dumoulin harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia, karena pada hakekatnya kebebasan untuk memilih hokum adalah semacam status perseorangan.
Menurut Bertrand D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia, sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi para pihak melainkan otonomi propinsi. Ia tetap mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hokum, akan tetapi :
1.      Ada statuta yang dimaksudkan ntuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia)
2.      Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hokum (statute mixta) yang dilakukan di tempat tertentu . statuta semacam itu harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan dengan dengan teritori atau wilayah penguasa yang memberlaukan statuta  itu.


F.     Teori Statuta di Negeri Belanda (Abad 17)

Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hokum Belanda setelah pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hokum yang dbuat Negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah Negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan penganut teori statuta di negeri belanda adalah kedaulatan eksklusif Negara.

Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajkan tiga prisip dasar yang dapat digunakan untk menyeesaikan perkara-perkara HPI sebgai berikut :
1.      Hukum dari suatu Negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya saja
2.      Sremua orang baik yang menetap maupun sementara yang berada di dalam wilayah suatu Negara berdaulat harus menjadi subyek hokum dari Negara itu
3.      Berdasarkan alas an sopan santun antar Negara (asas komitas=comity) diakui pula bahwa setiap pemeritah Negara yang berdaulat mengakui bahwa hokum yang sudah berlaku di Negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan subyek hokum dari Negara yang memberikan pengakuan itu.

Selanjutnya Urik Huber menegaskan bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut harus pula diperhatikan prinsip semua perbuatan/transakasi yuridis yang dianggap sah berdasarkan hokum dari suatu Negara tertentu, akan diakui sah pula ditempat lain yang system hukumnya sebenarnya mengganggap perbuatan/transaksi semacam itu batal. Tetapi perbuatan/transaksi yang dilaksanakan disuatu tempat tetentu yang menganggapnya batal demi hokum juga dianggap batal dimanapun.


G.    Teori-Teori Modern

Pada abad ke-19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang pakar hokum yaitu Joseph Story, Friedrich Carl Von Savigny, dan Pasquae Manchini.
Titik tolak pandangan Von Savigny adalh bahwa suatu hububngan hokum yang sama harus member penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim Negara A maupun Negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana.
Satunya pergaukan internasional akan menimbulkan satu system hokum supra nasional yaitu hokum perdata internasional. Oleh karena titik tolak berfikir Von Savigny adalah bahwa HPI itu bersifat hokum supra nasional, oleh karenanya bersifat universal maka ada yang menyebut piikiran Von Savigny ini dengan istilah teori HPI universal.
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hokum asing bukan semata-mata berdasarkan comitas, akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya bagi semua pihak (Negara atau manusia) yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hokum personil seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Machini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam setiap system hokum yaitu :
1.      Kaidah hokum yang menyangkut kepentingan perseorangan
2.      Kaidah-kaidah hokum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum
Berdasarkan pembagian ini dikemukakan tiga asas HPI yaitu :
1.      Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga Negara dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil)
2.      Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat territorial dan berlaku bagi setiap orang yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu Negara (prinsip terotorial)
3.      Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hokum manakah yang akan berlaku terhadap transakasi diantara mereka (pilihan hokum)
Cita-cita Machini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuan- persetujuan internasional swedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra nasional.
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hokum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri dan inipun bergantung pada kebiasaan, undang-undang putusan-putusan pengadilan di dalam masing-masing masyarakat hokum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti perjanjian-perjanjian HPI Den Haag.

dari berbagai sumber buku HPI bayu seto dan google
oleh :agustin dwi ria mahardika sebagai tugas HPI 

3 komentar:

  1. ijin kopi yah..materinya....

    BalasHapus
  2. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus