Rabu, 08 Juni 2011

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM HUKUM PIDANA

oleh : Agustin Dwi Ria Mahardika

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada suatu kesempatan refleksi kebangkitan nasional Indonesia dewasa ini, dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar rakyat memperihatinkan kondisi bangsa dan negara dewasa ini terutama dalam hubungan dengan nasionalisme. Fenomena dalam masyarakat atau kalangan elit negara menunjukan suatau ekspresi rapuhnya bangsa ini tetang pemahaman dan keyakinan filosofisnya.1
B.J Habibie dalam sebuah pidato dalam memperingati hari lahirnya pancasila 1 Juni 2011 mengatakan bahwa Indonesia mengalami amnesia nasional. Bangsa Indonesia lupa akan filosofi bangsa yaitu suatu pondasi atau dasar yang membentuk negara Indonesia yang dulu dirumuskan oleh para faunding father kita. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam dasar negara kita (Pancasila) luntur seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti ketuhananan, keadilan, kepatutan, keselarasan, persatuan, kemanusiaan dan gotong royong tidak direfleksikan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat termasuk juga dalam substansi dan praktek penegakan hukumnya.
Proklamasi kemerdekaan dan pembentukan negara republik Indonesia yang dituangkan ke dalam undang-undang dasar 1945 membawa perubahan besar dalam semua aspek kehidupan kemasyarakatan di wilayah yang sebelumnya dinamakan hindia belanda, termasuk pada penyelenggaraan hukumnya. Implikasinya, secara impisit sudah terjadi perubahan dalam isi cita hukum sebgai “basic guiding principles” dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia.2

1 Disampaikan oleh guru besar ilmu filsafat UGM dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 2011
2Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH.,M.Hum, Dr. Winahyu Erwiningsih, SH., M.Hum, makalah “Orientasi Ilmu Hukum Indonesia”, Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 2011

Perjalanan sejarah bangasa Indonesia dari kolonial ke kemerdekaan adalah suatu perjalanan paradigmatis. Secara politik berubah dari bangsa pinggiran (periferi) menjadi bangsa yang mengambil alih pusat kekuasaan melalui proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945: dari Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia. Tidak semua bangsa dalam kemerdekaannya ingin membangun suatu kehidupan baru yang didasarkan pada asas-asas baru. Disini peranan UUD 1945 sangat menentukan terjadinya perubahan yang melompat itu. UUD merupakan grand desaign suatu masyarakat dan kehidupan baru di Indonesia.3Dengan demikian, UUD 1945 merupakan instrumen yang sangat penting dalam proses membangun masyarakat baru Indonesia dan menjadi modal bagi pembangunan hukum di Indonesia. Oleh karena itu. Ilmu Hukum Indonesia yang bertugas mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan hukum di negeri ini juga tak dapat dipisahkan dari UUD 1945. Menunujuk pada pemikiran tersebut, paradigma yang dapat ditangkap dari UUD 1945 antara lain : (a) Ketuhanan Yang Maha Esa;(b) Kemanusiaan;(c) Persatuan; (d) kerakyatan; (e) keadilan sosial; (f) kekeluargaan; (g) harmoni; (h) musyawarah.
Paradigma di atas dapat menuntun dalam bidang penyelenggraan suatu negara hukum, yakni pembuatan UU, penegakan hukum dan peradilan. Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai perangkat aturan positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrsi pemerintahan dan masyarakat).4 Pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia didasarkan atas pancasila dan UUD 1945. Secara implisit memperlihatkan, bahwa penyusunan hukum yang berlaku di Indonesia tak dapat di lepaskan dengan pandangan hidup bangsa, Pancasila. Dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, maka paham negara hukum tidak seperti dianut dalam budaya hukum barat. 5


3Sajipto Raharjo, “Paradigma Ilmu Hukum..”,1989.hal.20-21
4B. Arief Sidharta,”Paradigma Ilmu Hukum Indonesia...”1998, hal.27.
5Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH.,M.Hum, Dr. Winahyu Erwiningsih, SH., M.Hum, makalah “Orientasi Ilmu Hukum Indonesia”, Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 20


Paham negara hukum yang dianut dalam budaya hukum Indonesia menundukan kepentingan orang perorangan secara seimbang dengan kepentingan umum.6Pada aras substansi hukum (legal substance) pidananya, masih dipakainya KUHP (ex. WvS) yang notabene buatan pemerintah kolonial Belanda dan dengan sendirinya berspirit kolonialisme, liberalism, dan individulism7(iks) hal tersebut jelas bertantangan dengan paham negara kita yang terkandung dalam Pancasila.
Bagaimana langkah yang harus di ambil untuk dapat mengimplementasikan nilai-nilai pancasila dalam hukum pidana? Makalah ini akan menjelaskan langkah-langkah yang harus di ambil agar nilai-nilai pancasila dapat di implementasikan dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini.




6 Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH.,M.Hum, Dr. Winahyu Erwiningsih, SH., M.Hum, makalah “Orientasi Ilmu Hukum Indonesia”, Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 20
7Muchamad Iksan, SH, MH, Makalah Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berprerspektif Pancasila. Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 20

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara sudah di implementasikan ke dalam hukum pidana ?
2. Bagaimana cara mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam hukum pidana?

C. TUJUAN

1. Mengetahui Apakah nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara sudah di implementasikan ke dalam hukum pidana
2. Memberikan solusi berdasar telaah pustaka dan pendapat para ahli mengenai cara mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam hukum pidana

BAB II
PEMBAHASAN

Proklamasi kemerdekaan dan pembentukan negara republik Indonesia yang dituangkan ke dalam undang-undang dasar 1945 membawa perubahan besar dalam semua aspek kehidupan kemasyarakatan di wilayah yang sebelumnya dinamakan hindia belanda, termasuk pada penyelenggaraan hukumnya. Implikasinya, secara impisit sudah terjadi perubahan dalam isi cita hukum sebgai “basic guiding principles” dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia.2-8
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari kolonial ke kemerdekaan adalah suatu perjalanan paradigmatis. Secara politik berubah dari bangsa pinggiran (periferi) menjadi bangsa yang mengambil alih pusat kekuasaan melalui proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945: dari Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia. Tidak semua bangsa dalam kemerdekaannya ingin membangun suatu kehidupan baru yang didasarkan pada asas-asas baru. Disini peranan UUD 1945 sangat menentukan terjadinya perubahan yang melompat itu. UUD merupakan grand desaign suatu masyarakat dan kehidupan baru di Indonesia.3-9Dengan demikian, UUD 1945 merupakan instrumen yang sangat penting dalam proses membangun masyarakat baru Indonesia dan menjadi modal bagi pembangunan hukum di Indonesia. Oleh karena itu. Ilmu Hukum Indonesia yang bertugas mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan hukum di negeri ini juga tak dapat dipisahkan dari UUD 1945. Menunujuk pada pemikiran tersebut, paradigma yang dapat ditangkap dari UUD 1945 antara lain : (a) Ketuhanan Yang Maha Esa;(b) Kemanusiaan;(c) Persatuan; (d) kerakyatan; (e) keadilan sosial; (f) kekeluargaan; (g) harmoni; (h) musyawarah10.

8 Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH.,M.Hum, Dr. Winahyu Erwiningsih, SH., M.Hum, makalah “Orientasi Ilmu Hukum Indonesia”, Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 2011
9 Sajipto Raharjo, “Paradigma Ilmu Hukum..”,1989.hal.20-21
10 Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH.,M.Hum, Dr. Winahyu Erwiningsih, SH., M.Hum, makalah “Orientasi Ilmu Hukum Indonesia”, Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 2011

Paradigma di atas dapat menuntun dalam bidang penyelenggraan suatu negara hukum, yakni pembuatan UU, penegakan hukum dan peradilan. Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai perangkat aturan positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrsi pemerintahan dan masyarakat).11 Pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia didasarkan atas pancasila dan UUD 1945. Secara implisit memperlihatkan, bahwa penyusunan hukum yang berlaku di Indonesia tak dapat di lepaskan dengan pandangan hidup bangsa, Pancasila. Dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, maka paham negara hukum tidak seperti dianut dalam budaya hukum barat. 12
Paham negara hukum yang dianut dalam budaya hukum Indonesia menundukan kepentingan orang perorangan secara seimbang dengan kepentingan umum.13Pada aras substansi hukum (legal substance) pidananya, masih dipakainya KUHP (ex. WvS) yang notabene buatan pemerintah kolonial Belanda dan dengan sendirinya berspirit kolonialisme, liberalism, dan individulism14 hal tersebut jelas tidak sesuai dengan paham negara kita yang terkandung dalam Pancasila.
Indonesia Negara Hukum
Negara Indonesia adalah negara berdasar hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machisstaat)”. Disebutkan pula bahwa: “Pemerintah Indonesia berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Bahwa karena urgensi penegasan dimaksud, maka pada Amandemen ke tiga UUD 1945 tahun 2001 ditegaskan kembali dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
11 B. Arief Sidharta,”Paradigma Ilmu Hukum Indonesia...”1998, hal.27.
12-13 Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, SH.,M.Hum, Dr. Winahyu Erwiningsih, SH., M.Hum, makalah “Orientasi Ilmu Hukum Indonesia”, Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 20
14 Muchamad Iksan, SH, MH, Makalah Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berprerspektif Pancasila. Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 20
Penegasan yuridis-konstitusional sebgaimana tersebut di atas belumlah cukup, akan tetapi harus terimplementasi dalam produk hukum di bawahnya, juga dalam hukum inconcerto di masyarakat. Menurut Frans Magnis-Suseno, ada empat syarat atau ciri penting negara hukum yang mempunyai hubungan pertautan atau tali-temali satu sama lain, yaitu: (1) adanya asas legalitas, yang artinya pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; (2) adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama dalam fungsinya menegakan hukum dan keadilan; (3) adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.15
Pada kenyataanya, walaupun negara ini sudah berusia enam dasawarsa lebih, implementasi pilar-pilar negara hukum dimaksud tidak juga terlaksana secara baik. Di sana-sini masih saja saja diketemukan ketimpang-ketimpangan, yang kemudian menimbulkan keraguan dibeberapa pihak tentang ekstistensi negara hukum Indonesia. Banyaknya praktik kekerasan (aparat) negara terhadap masyarakat yang melanggar hak asasi manusia (HAM)16, penyalahgunaan kekuasaan atau abouse of power, lembaga peradilan yang kurang responsif mengakomodasi tuntutan keadilan dan kepastian hukum masyarakat17, putusan-putusan kontroversial baik dalam kasus kecil (seperti: pencurian 3 biji kakao, 2 biji semangka, 4 kg kapas, dll), maraknya kasus mafia hukum/peradilan,penegakan hukum yang belum/kurang optimal termasuk issue tebang pilih, femomena peradilan massa, eigen richting, maraknya tindak kejahatan dalam masyarakat, dan sebagainya, merupakan bukti bahwa pengejawantahan konsep negara hukum dan nilai-nilai luhur Pancasila dalam praktik kenegaraan dan dalam kehidupan kemasyarakatan belum berjalan sebagaimana yang dicita-citakan.
15Suseno, Frans magnis. 1991. Etika Polotik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:Gramedia.Hal.298-301.
16 Muchamad Iksan, SH, MH, Makalah Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berprerspektif Pancasila. Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 20
17Tulisan Sajipto Raharjo dengan judul Sosiologi Pembangunan peradilan Bersih Berwibawa dalam jurnal Ilmu Hukum UMS Vo.3 Tahun III/99. Surakarta. Hal.3-10.

Kebijakan Hukum Pidana
Untuk mewujudkan tujuan negara harus diupayakan melalui pembangunan berbagai bidang, diantaranya bidang hukum, ekonomi, politik, pertahan keamanan, sosial dan budaya. Pembagnunan bidang-bidang terebut memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan negara tersebut, oleh karenanya dalam Bab IV sub A GBHN 1999-2004 telah disusun 10 Arah Kebijakan di Bidang Hukum, diantaranya sebgai berikut18:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supermasi hukum dan tegaknya negara hukum
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang dikriminatif, termasuk ketidakasilan gender dan ketidaksesuaian dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi
3. Penegakan hukum secara kosisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menhargai hak asasi manusia
4. Melanjutkan retifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang
5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk kepolisian negara RI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidik, serta pengawasan, serta pengawasan yang efektif
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun
7. .......dst

18GBHN 1999-2004,Op-cit. Hal.63.


Arah kebijakan negara dalam di GBHN tersebut, walaupun sekarang sudah tidak tidak lagi ada/berlaku, sekaligus merupakan pengakuan bahwa sistem hukum di negara ini disana-sini masih banyak kelemahan, baik dari sisi kebijakan legislatifnya, implementasi dalam masyarakat, maupun budaya atau kultur hukum masyarakat yang masih rendah. Hal terakhir ini ditandai dengan rendahnya dukungan, partisipasi atau peran serta masyarakat dalam penegakan hukum pidana19.
Muladi,20 memberikan patokan-patokan karakteristik yang harus diperhatikan dalam membuat kebijakan hukum pidana yang akan datang, yaitu : pertama, hukum pidana nasional mendatang yang dibentuk harus memenuhi pertimbangan sosiologis, politis, praktis dan juga dalam kerangka ideologis Indonesia; kedua, hukum pidana nasional mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang bertalian dengan manusia, alam, dan tradisi dalam Indonesia; ketiga, hukum pidana nasional mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan–kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab;keempat, karena sistem peradilan pidana, politik criminal dan politik hukum merupakan bagian dari politik sosial maka hukum pidana nasional mendatang harus memperhatikan aspek-aspek yang bersifat preventif; kelima, hukum pidana nasional mendatang harus harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan efektifitas fungsinya dalam masyarakat.
Apa yang di kemukakan oleh Muladi di atas, sebenarnya merupakan internalisasi atau implementasi nilai-nilai pancasila dalam pembaharuan hukum pidana.
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka upaya fungsionalisasi hukum pidana (materil dan formil-pen) juga harus secara sungguh-sungguh memperhatikan :
1. Tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan hal itu maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat
19Mudzakir.2002.Kebijakan Hukum Pidana tentang Perlindungan Saksi. Makalah Semiloka Perlindungan Hukum Terhadap Saksi yang diselenggarakan Kerjasama ICW-SCW.Surakarta.
20Muladi.1990.Proyeksi Hukum Indonesia di Masa Datang.Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP.Semarang.24 Februari 1990.Hal.3.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau yang akan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian meteril dan spiritual bagi warga masyarakat
3. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kepastian atau kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan bebab tugas (over belasting).
Sebagaiman diketahui, usaha-usaha pembaharuan hukum pidana, baik materiil maupun formil, terus dilakukan. Dalam konteks pembaharuan hukum pidana materiil, telah beberapa kali dibentuk Tim Pembaharuan KUHP nasional yang sudah mulai bekerja pada tahun 60-an hingga sekarang, dan sudah menghasilkan konsep RUU KUHP yang siap di bahas di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuannya. Demikian pula pembaharuan hukum pidana melalui jalur peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yang berjumlah puluhan, bahkan mungkin telah ratusan undang-undang, baik yang merupakan undang-undang (di bidang) hukum pidana, maupun undang-undang (pidana) di bidang administrasi. Pembaharuan hukum pidana formil juga dilakukan, sebut saja misalnya UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman jo UU No. 35 tahun 1999 tentang perubahan UU No.14 tahun 1970, dan terakhir diganti dengan UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, UU No.5 tahun 2004 tentang perubahan UU No.14 tahun 1985 tentang makamah agung, UU No.2 tahun 1986 tentsng peradilan umum yang telah di ganti dengan UU No.8 tahun 2004 tentang peradilan umum, UU No.28 tahun 1997 tentang kepolisian RI yang telah di ganti dengan UU No.2 tahun 2002 tentang kepolisian negara RI, UU No.5 tahun 1991 tentang kejaksaan RI, UU No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan anak, UU No.31 tahun 1997 tantang peradilan militer, UU No.5 tahun 1998 tentang pengesahan konvensi anti penyiksaan, UU No.26 tahun 2000 tentnag pengadilan HAM, UU No.18 tahun 2003 tetang advocat, UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban21.

21 Muchamad Iksan, SH, MH, Makalah Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berprerspektif Pancasila. Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : “Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan,”surakarta, 19 Mei 20

Penegakan Hukum Pidana Berperspektif Nilai-nilai Pancasila
Penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan cita-cita hukum bangsa yang bersangkutan (Proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945). Artinya, penegakan hukum tersebut haruslah disesuaikan dengan falsafah, pandangan hidup, kaidah dan prinsip yang di anut oleh masyarakat yang bersangkutan, shingga akan sesuai dengan kesadaran hukum yang mereka miliki. Untuk itu penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai yang di junjung tinggi oleh masyarakat, yang bagi masyarakat Indonesia nilai-nilai tersebut , antara lain nilai ketuhanan, keadilan, kebersamaan, kedamaian, ketertiban, kemodernan musyawarah, perlindungan hak-hak asasi dan sebgainya. Tentunya sebagai negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental, sedapat mungkin nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam bentuk undang-undang termasuk dalam hal nilai dan kaidah penegakan hukumnya. jadi nilai-nilai luhur dari pancasila seperti keadilan, kemanusiaan dan hak asasi manusia (martabat manusia), kepastian hukum, kemanfaatan dan persatuan bangsa harus diinternalisasi dalam dinamika praktik penegakan hukum.
Dalam konteks sistem peradilan pidana, maka ruang lingkup penegakan hukum pidana sudah dimulai sejak perumusan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif (kebijakan legislatif) di bidang hukum pidana –baik hukum pidana materil maupun formil--, pelaksanaan perundang-undangan itu di masyarakat, maupun langkah atau tindakan yang diambil atau seharusnya diambil oleh aparat penegak hukum pidana seperti polisi, jaksa penununtut umum, hakim, dan penasehat hukum manakala di masyarakat terjadi tindak pidana atau pelanggaran terhadap hukum pidana yang ada harus tetap memperhatikan dan sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.
Penyelenggaraan acara pidana (khususnya untuk tindak pidana umum) di dasarkan pada undang-undang No.8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, yang populer dengan sebutan KUHAP, UU kekuasaan kehakiman, dan peraturan perundang-undangan lainnya sebgai pelengkap. KUHAP dan UU kekuasaan kehakiman itu memuat asas-asas yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan acara pidana, khususnya oleh jajaran aparat penegak hukum (official criinal justice system). Asas-asas dimaksud antara lain :
1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
2. Persumption of innocence (praduga tak bersalah)
3. Oportunitas
4. Pemeriksaan terbuka untuk umum
5. Semua orang diperlakukan sama di depan hakim
6. Tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum
7. Akusatoir
8. Pemeriksaan oleh hakim secara lansung dan lisan
Dengan penyebutan yang berbeda, Yahya harahap mengemukakan landasan asas tau prinsip sebgai dasar patokan hukum yang melandasi KUHAP dalam penegakan hukum, yang merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP, juga berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP. Landasan asas atau prinsip itu antara lain :22
1. Asas legalitas
2. Asas keseimbangan
3. Asas praduga tak bersalah
4. Prinsip pembatasan penahanan
5. Asas ganti rugi dan rehabilitasi
6. Penggabungan pidana dengan tuntutan ganti rugi
7. Asas unifikasi
8. Prinsip saling koordinasi
9. Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan
10. Prinsip peradilan terbuka untuk umum

22Andi Hamzah.1985.Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam KUHP.Jakarta:Binacipta.hal 13-28.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara belum secara sempurna di implementasikan ke dalam hukum pidana. Implementasi pilar-pilar negara hukum dimaksud tidak juga terlaksana secara baik. Di sana-sini masih saja diketemukan ketimpang-ketimpangan, yang kemudian menimbulkan keraguan dibeberapa pihak tentang ekstistensi negara hukum Indonesia.


Banyaknya praktik kekerasan (aparat) negara terhadap masyarakat yang melanggar hak asasi manusia (HAM), penyalahgunaan kekuasaan atau abouse of power, lembaga peradilan yang kurang responsif mengakomodasi tuntutan keadilan dan kepastian hukum masyarakat, putusan-putusan kontroversial baik dalam kasus kecil (seperti: pencurian 3 biji kakao, 2 biji semangka, 4 kg kapas, dll), maraknya kasus mafia hukum/peradilan,penegakan hukum yang belum/kurang optimal termasuk issue tebang pilih, femomena peradilan massa, eigen richting, maraknya tindak kejahatan dalam masyarakat, dan sebagainya, merupakan bukti bahwa pengejawantahan konsep negara hukum dan nilai-nilai luhur Pancasila dalam praktik kenegaraan dan dalam kehidupan kemasyarakatan belum berjalan sebagaimana yang dicita-citakan.
Selain itu meski telah di buat kebijakan hukum seperti dalam Bab IV sub A GBHN 1999-2004 disusun 10 Arah Kebijakan di Bidang Hukum (telah diuraikan di atas), walaupun sekarang sudah tidak tidak lagi ada/berlaku, sekaligus merupakan pengakuan bahwa sistem hukum di negara ini disana-sini masih banyak kelemahan, baik dari sisi kebijakan legislatifnya, implementasi dalam masyarakat, maupun budaya atau kultur hukum masyarakat yang masih rendah. Hal terakhir ini ditandai dengan rendahnya dukungan, partisipasi atau peran serta masyarakat dalam penegakan hukum pidana.


B. SARAN

Berdasarkan pembahsan diatas maka untuk mengimplementasikan pancasila dalam hukum pidana dengan cara sebagai berikut :
1. Muladi memberikan patokan-patokan karakteristik yang harus diperhatikan dalam membuat kebijakan hukum pidana yang akan datang, yaitu : pertama, hukum pidana nasional mendatang yang dibentuk harus memenuhi pertimbangan sosiologis, politis, praktis dan juga dalam kerangka ideologis Indonesia; kedua, hukum pidana nasional mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang bertalian dengan manusia, alam, dan tradisi dalam Indonesia; ketiga, hukum pidana nasional mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan–kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab;keempat, karena sistem peradilan pidana, politik criminal dan politik hukum merupakan bagian dari politik sosial maka hukum pidana nasional mendatang harus memperhatikan aspek-aspek yang bersifat preventif; kelima, hukum pidana nasional mendatang harus harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan efektifitas fungsinya dalam masyarakat.
Apa yang di kemukakan oleh Muladi di atas, sebenarnya merupakan internalisasi atau implementasi nilai-nilai pancasila dalam pembaharuan hukum pidana.
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka upaya fungsionalisasi hukum pidana (materil dan formil-pen) juga harus secara sungguh-sungguh memperhatikan :
a. Tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan hal itu maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau yang akan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian meteril dan spiritual bagi warga masyarakat
c. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kepastian atau kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan bebab tugas (over belasting).
2. Penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan cita-cita hukum bangsa yang bersangkutan (Proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945). Artinya, penegakan hukum tersebut haruslah disesuaikan dengan falsafah, pandangan hidup, kaidah dan prinsip yang di anut oleh masyarakat yang bersangkutan, shingga akan sesuai dengan kesadaran hukum yang mereka miliki. Untuk itu penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai yang di junjung tinggi oleh masyarakat, yang bagi masyarakat Indonesia nilai-nilai tersebut , antara lain nilai ketuhanan, keadilan, kebersamaan, kedamaian, ketertiban, kemodernan musyawarah, perlindungan hak-hak asasi dan sebgainya. Tentunya sebagai negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental, sedapat mungkin nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam bentuk undang-undang termasuk dalam hal nilai dan kaidah penegakan hukumnya. jadi nilai-nilai luhur dari pancasila seperti keadilan, kemanusiaan dan hak asasi manusia (martabat manusia), kepastian hukum, kemanfaatan dan persatuan bangsa harus diinternalisasi dalam dinamika praktik penegakan hukum.
3. Meningkatkan kesadaran hukum dan dasar negara dalam msyarakat, penegak hukum dan pembuat kebijakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam hukum pidana
4. serta perlunya dukungan, partisipasi atau peran serta masyarakat dalam penegakan hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Guru besar ilmu filsafat UGM, Kaelan.2011.Makalah Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan, Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan.Surakarta.
Dimyati, Khudzaifah. Erwiningsih ,Winahyu.2011.Makalah Orientasi Ilmu Hukum Indonesia, Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan.Surakarta.
Raharjo, Sajipto. 1989.Paradigma Ilmu Hukum.Bandung:Alumni
Sidharta, B. Arief. 1998.Paradigma Ilmu Hukum Indonesia...., hal.27.
Iksan, Muchamad.2011.Makalah Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berprerspektif Pancasila. Makalah disajikan dalam seminar nasional kerjasama antara sekertariat MPR dan UMS dengan tema : Revitalisasi Pancasila Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia Saat Ini dan Masa Depan.Surakarta.
Mudzakir.2002.Kebijakan Hukum Pidana tentang Perlindungan Saksi. Makalah Semiloka Perlindungan Hukum Terhadap Saksi yang diselenggarakan Kerjasama ICW-SCW.Surakarta.
Muladi.1990.Proyeksi Hukum Indonesia di Masa Datang.Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP.Semarang.24 Februari 1990.Hal.3.
GBHN. 1999-2004,Op-cit. Hal.63.
Suseno, Frans magnis. 1991. Etika Polotik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:Gramedia.Hal.298-301.
Raharjo, Sajipto. Sosiologi Pembangunan peradilan Bersih Berwibawa dalam jurnal Ilmu Hukum UMS Vo.3 Tahun III/99. Surakarta. Hal.3-10.
Hamzah, Andi.1985.Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam KUHP.Jakarta:Binacipta.
\

“Sebuah Pertanyaan “

Bagaimana perlindungan untuk mreka?
By: Agustin Dwi Ria Mahardika


Setiap aku pulang kuliah sore aku selalu menjumpai orang itu. Ya aku tetap menyebutnya sebagai orang meskipun dalam hukum ia tidak diakui sebagai subyek hukum. Aku memperhatikannya, kadang ia berpakaian compang-camping, kurang tepat jika di sebut pakaian, mungkin lebih tepat disebut dengan kain-kain perca yang di balutkan ke tubuhnya. Ia laki-laki ya aku tahu dia laki-laki meskipun jalannya meliuk-liuk lemah gemulai seperti wanita. Kadang tubuhnya itu tak berbalut kain selembar-pun, ia biarkan kulit-kulitnya tersengat sinar matahari ataupun terguyur hujan. Biar ia tersengat sinar matahari dan terguyur hujan, biar ia telanjang bulat di depan umum toh tak ada orang akan peduli padanya. Apalagi dia tak akan merasakan apa yang di pikirkan orang kepadanya dan juga tak memikirkan panasnya terik matahari yang menyengatnya ataupun hujan yang mengguyurnya toh dia tak akan merasakan sakit karena kesakitan yang di deritanya terlalu berat sehingga membuatnya mati rasa.
Kadang aku menemuinya di pasar dekat rumah, aku memperhatikannya. Banyak orang yang meledeknya dan mengerjai dia, tak ada satu pun yang membalutkan baju di tubuhnya. Hati ini terasa ngilu, ngilu tak karuan dan air mata pun ingin tumpah begitu saja. Aku berempati padamu kawan, meski kamu tak akan merakan kekejaman mereka terhadapmu.
Keesokan harinya ku bertemu dengannya lagi, berbalut kain perca warna pink hanya di bagian kemaluan tapi dadanya di biarkan telanjang, hari itu ia mengenakan kaca mata mainan. Aku tak tau ulah iseng siapa lagi yang mendandani ia begitu dan yang memberi kain pink serta kaca mata itu? Hm...andai aku tahu ia tinggal dimana, ingin aku mengorek informasi tentangnya. Dan andai aku tahu harus kemana perlakuan tak adil terhadapnya itu mesti di adukan, aku akan berusaha memperjuangan perlindungan untuknya. Karena tak jarang juga ia mendapat perilaku penyimpangan seksual dari orang-orang di sekitarnya (orang normal yang tingkahnya seperti binatang).
Ya begitulah setiap kali ku berjumpa dengannya dan selalu ada yang berbeda dengan gaya nya, kini rambutnya semakin gondrong dulu masih pendek dan tetap kain yang terbalut di tubuhnya minim-minim dan selalu berubah-ubah. Sejak aku semester 1 hingga sekarang semester 4 ia tetap seperti itu, tidakkah ada orang yang mau memakaikan baju lengkap untuknya? Dimana keluarganya? Aku yakin ia berusia lebih muda di bawahku, seandainya ia dibersihkan dan dirapikan ia akan terlihat tampan karena ia masih sangat muda. Seharusnya ia bersekolah seandainya ia tidak mengalami gangguan jiwa. Tapi siapa mau peduli pada nasibnnya? Siapa yang akan mengobatinya? Apa fungsi RSJ di daerah? Apakah RSJ juga membutuhkan biaya banyak untuk orang gila dapat berobat disana? Haduh, orang gila itu jadi gila kebanyakan karena ekonomi kalau gila mau berobat juga pakek uang lagi semakin banyak orang gila berkeliaran atau di pasung di rumah kaya yang di TV itu dong.
Ini baru sebagian cerita kecil, masih banyak orang-orang yang memiliki penyakit jiwa yang berkeliaran di jalan-jalan. Mereka terancam mendapat kekerasan seksual atau bahkan dapat menjadi obyek mutilasi untuk keuntungan suatu pihak yang menurutku pihak ini lebih parah kegunjangan jiwanya daripada mereka yang berpenyakit jiwa. Beberapa waktu lalu aku melihat berita di TV, seorang wanita yang mengidap gangguan jiwa di pasung di rumah, tapi ia sempat hamil dan melahirkan berkali-kali dan anak-anaknya di titipkan di panti asuan, ada lagi wanita yang mengidap penyakit serupa melahirkan anak di kuburan, subbnallah meskipun anak itu di lahirkan oleh orang-orang yang sakit jiwanya tapi anak-anak itu aku lihat komentar di TV, mereka lahir dengan selamat dan sehat. Dan masih banyak berita-berita yang memberitakan hal semacam itu serta kejadian-kejadian yang tak terekspos media karena mungkin mereka golongan minoritas yang sering terlupakan oleh kita semua.
Masih banyak orang-orang yang menertawakan kekurangan orang lain semacam itu. Adakah orang yang masih mau perhatian deangan mereka, dan tidak mengganggap mereka hina sekalipun mereka berbahaya, tapi mereka itu tidak untuk di jauhi atau di asingkan dari pergaulan kita. Sekalipun keberadaan mereka pun tidak diakui sebagai subyek hukum. Pertanyaannya, apa solusi untuk mengurangi penderita gangguan jiwa? Adakah UU/peraturan pemerintah yang mengatur tentang mereka? Adakah TIM sukarelawan yang mau mengadakan pendampingan untuk pemulihan mereka? Adakah hal-hal semacam itu mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat?
Saya pernah melihat berita di TV, ada tempat penampungan dan pemulihan orang-orang yamg menyandang gangguan jiwa di suatu daerah di jawa timur. Mungkin mereka sperti LSM dan di bantu oleh pemerintah daerah setempat untuk menciptakan rumah perlindungan bagi orang-orang yang menyandang penyakit jiwa. Di situ ia diberi pengobatan dan pembinaan, tak sedikit dari mereka sembuh dan dapat mengingat keluarganya kembali. Aku yakin tiap penyakit pasti ada obatnya jika masih ada orang yang mau peduli terhadap sakit mereka. Seharusnya tak perlu mereka jadi orang gila abadi samapai akhir hayat jika mereka mendapatkan perhatian dari masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.