Sabtu, 05 Februari 2011

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DAN AKIBATNYA


A.    ALASAN MENGAJUKAN PKPU
Dalam menjalankan aktivitas bisnis , kemungkinan munculnya resiko yang bisa menerpa pelaku usaha suatu hal yang sulit untuk dihindari . Konsekwensinya adalah bila ada risiko yang menimpa dunia usaha akan berimplikasi kepada tersendatnya pemenuhan kewajiban. Singkatnya pelaku usaha dalam hal ini debitor, sudah mulai merasakan bahwa untuk melunasi kewajibannya tepat waktu akan sulit dipenuhi. Bila terjadi hal demikian beberapa alternative dapat ditempuh yakni mengadakan penundaan pembayaran diluar pengadilan. Artinya debitor yang bersangkutan mengajukan permohonan kepihak kreditor secara lamgsung. Hal semacam ini dalam bisnis acap kali dilakukan oleh debitor dengan cara mengajukan moratorium kepada kreditor artinya debitor minta untuk sementara waktu dihentikan untuk melakukan pembayaran kewajibannya.  

Secara teknik yuridis, PKPU melalui pengadilan memang dimungkunkan. Hal ini diatur lewat pranata hokum PKPU, surseance van betaling (bld);suspension of payment (ing). Hal ini diatur dalam Bab III pasal 222-294 UUK.
Jadi secara sederhana dapat dikemukakan bahwa alasan untuk mengajukan PKPU yakni :
1.      Debitor mengalami kesulitan keuangan
2.      Debitor berharap usahanya masih bisa dilanjutkan
3.      Kemungkinan debitor melunasi kewajibannya sangat terbuka
  
B.     Tujuan PKPU:
1.      Piutang para kreditur dapat dibayar seluruhnya
2.      Pembayaran sebagian yang dimungkinkan oleh pemberesan tahap demi tahap
3.      Suatu perdamaian dibawah tangan atau dengan notaris
4.      Pengesahan perdamaian oleh akor[hakim]
5.      Pernyataan pailit, apabila tujuan PKPU tidak tercapai

C.    Prosedur PKPU
Tata cara mengajukan permohonan PKPU diatur dalam Undang-Undang Nomro 37 Tahun 2004. Prosesnya secara yuridis sebagai berikut :
1.      Permohoan PKPU ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum debitor. Permohonan tersebut ditandatangani oleh debitor dan advokatnya, permohonan ini pula dilampiri dengan rencana perdamaian. Menurut Munir Fuady dalam bukunya Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, lampiran rencana perdamain ini sangatlah penting dalam PKPU karena tujuan utama dari PKPU ialah agar para pihak dapat mencapai perdamain. Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya. Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum siding

2.      Surat permohonan berikut lampirannya, bila ada, harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan, agar dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma. Isi dan sistematika surat permohonan PKPU paling tidak memuat sebagai berikut :
a. Tempat dan tanggal permohonan
b. Alamat pengadilan Niaga yang berwenang
c. Identitas Pemohon dan advokatnya
d. Uraian tentang alasan permohonan PKPU
e. Permohonan :
– Mengabulkan permohonan pemohon
– menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus
f. Tanda tangan debitor dan advokatnya
Kelengkapan berkas yang harus disiapkan sebagai persyaratan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang pada Pengadilan Niaga meliputi :
a.       Surat permohonan bermeterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga;
 Identitas diri debitur; 
b.      Permohonan harus ditandatangani oleh Debitur dan Penasehat Hukumnya;
 Surat kuasa khusus yang asli (penunjukkan kuasa pada orangnya bukan kepada Law Firmnya);
c.       Ijin Penasehat Hukum/Kartu Penasehat Hukum;
d.      Nama dan tempat tinggal/kedudukan para Kreditur Konkuren disertai jumlah tagihannya masing-masing pada Debitur;
e.       Neraca pembukuan terakhir;
 Rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditur Konkuren (Jika ada).
Kelengkapan persyaratan tersebut diatas berlaku juga bagi permohonan yang diajukan oleh :
a. Debitur perorangan;
b. Debitur perseroan terbatas ;
c. Debitur yayasan/asosiasi/perkongsian/partner.
Salinan dokumen-dokumen/surat-surat yang dibuat di luar negeri harus disahkan oleh Kedutaan/ perwakilan Indonesia di negara tersebut dan diterjemahkan oleh penerjemah resmi (disumpah); Dokumen (surat-surat) yang berupa foto copy harus dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh Pejabat yang berwenang/Panitera Pengadilan; Surat permohonan serta dokumen-dokumen dibuat rangkap sesuai dengan jumlah pihak ditambah 4 (empat) set untuk Majelis Hakim dan arsip. Pada saat pendaftaran itu pula pemohon wajib membayar biaya panjar. Pada permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, selain memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam formulir kelengkapan persyaratan permohonan (check-list); jika ada dilampiri dengan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren
3.      Apabila permohonan PKPU dan kepailitan diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan PKPUlah yang ditunjuk terlebih dahulu
4.       Dalam hal permohonan diajukan oleh Debitor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.
5.       Dalam hal permohonan diajukan oleh Kreditor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.
6.       Segera setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan. Dalam hal Debitor tidak hadir dalam sidang penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama.
7.      Pengurus wajib segera mengumumkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama Hakim Pengawas dan nama serta alamat pengurus. Apabila pada waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh Debitor, hal ini harus disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan. Penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berlaku sejak tanggal putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang.
8.      Pada hari sidang Pengadilan harus mendengar Debitor, Hakim Pengawas, pengurus dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Dalam sidang itu setiap Kreditor berhak untuk hadir walaupun yang bersangkutan tidak menerima panggilan untuk itu.
9.      Apabila rencana perdamaian dilampirkan pada permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang dilangsungkan, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dilakukan, sepanjang belum ada putuan pengadilan yang menyatakan bahwa PKPU tersebut berakhir. jika Kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan Debitor, Kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya.
10.  Bila PKPU tetap tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, maka dalam jangka waktu 45 hari terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan, maka debitor demi hukum dinyatakan pailit.
a.       Setelah dilakukan pemeriksaan, Majelis Hakim dapat mengabulkan PKPU sementara menjadi PKPU tetap dengan syarat sebagai berikut :
disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan
b.       disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.

12. PKPU tetap hanya berlangsung selama 270 hari sejak putusan PKPU sementara ditetapkan.

D.    Akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Dengan diucapkannya putusan PKPU, akibat hukum yang timbul terhadap debitor ialah sekarang ia tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan pengurus. Di sini ia tetap memiliki hak untuk mengurus hartanya, hanya saja segala tindakan yang dilakukan terhadap hartanya harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pengurus Apabila ternyata melanggar ketentuan ini ketentuan pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor tersebut. Kewajiban Debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat dibebankan kepada harta Debitor sejauh hal itu menguntungkan harta Debitor. Selama penundaan kewajiban pembayaran utang berlangsung, terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit. Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh pengurus, Debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta Debitor. Apabila dalam melakukan pinjaman itu perlu diberikan agunan, Debitor dapat membebani hartanya dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh pinjaman tersebut telah memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. Pembebanan harta Debitor dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta Debitor yang belum dijadikan jaminan utang. Apabila Debitor telah menikah dalam persatuan harta, harta Debitor mencakup semua aktiva dan pasiva persatuan.
Akibat lain yang terjadi dengan putusan PKPU ini antara lain :
1.      Jika debitur tersebut minta pailit, maka debitur tidak lagi dapat mengajukan PKPU.
2.       Debitur tidak dapat dipaksa membayar hutang-hutangnya, dan pelaksanaan eksekusi harus ditangguhkan.
3.      Eksekusi dan sitaan yang telah dimulai atas barang-barang, baik yangtidak dibebani agunan maupun yang dibebani hak tanggungan, gadai, agunan lainnya atau istimewa lainnya harus ditangguhkan
4.      Sitaan berakhir dan diangkat
5.      Perkara yang sedang berjalan ditangguhkan.
6.      Debitur tidak boleh menjadi penggugat dan tergugat yang menyangkut harta    kekayaannya.
7. PKPU tidak berlaku bagi Kreditur Preferen
7.      PKPU tidak berlaku utk biaya pendidikan,biaya pemeliharaan dan pengawasan.
8.      Hak retensi tetap berlaku.
9.      Berlaku masa penangguhan 270 hari.
10.  Bisa dilakukan kompensasi
11.  Dapat dilakukan PHK.
12.  Perbuatan debitur tidak dapat dibatalkan oleh Kurator
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini tidak Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak menghentikan berjalannya perkara yang sudah dimulai oleh Pengadilan atau menghalangi diajukannya perkara baru. hakim dapat menangguhkan putusan sampai berakhirnya penundaan kewajiban pembayaran utang bila gugatan pembayaran suatu piutang yang sudah diakui Debitor, sedangkan penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk memperoleh suatu putusan untuk melaksanakan hak terhadap pihak ketiga, setelah dicatatnya pengakuan tersebut, Debitor tidak dapat menjadi penggugat atau tergugat dalam perkara mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta kekayaannya tanpa persetujuan pengurus.


Oleh : Agustin Dwi Ria Mahardika, sebagai tugas Hukum Dagang II tentang kepalitan dan PKPU
Di ambil dari buku : HUKUM KEPAILITAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN KEPALITAN,  Dr. Sentosa Sembiring, S.H., MH. Penerbit Nuansa Aulia

Jumat, 04 Februari 2011

Apakah MPR sebagai lembaga permanen atau joint session ?

Penadapat tentang MPR sebagai lembaga permanen atau joint session ini bervariasai, ada yang mengatakan MPR menganut joint session tapi ada pula yang mrngatakan sebagai lembaga permanen bahkan ada pula yang menyatakan MPR menganut system keduanya. Akan sangat menarik dan lebih besar pengetahuan saya seputar kedudukan MPR ini apabila saudara berkenan memberikan pendapatnya untuk pembahasan ini……..terimakasih!



A.    MPR sebagai lembaga permanen
MPR dapat dikatakan sebgai lembaga permanen, apabila kepermanenan lembaga MPR sebagai institusi yang pada akhirnya mempunyai perangkat-perangkat penuh sebagai lembaga yang seutuhnya, yaitu :
a.       Kelengkapan administrasi dan organisasional anggota individu
b.      Kesekretariatan tersendiri dengan pengurusnya untuk menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga yang mandiri
c.       Kode etik dan badan kehormatan sendiri
d.      System penggajian anggota

MPR sebagai suatu lembaga permanen dengan terang dinyatakan dalam pasal 2 dan dipertegas dalam pasal 10 UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi :
Pasal 2 ; “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang di pilih melalui PEMILU” (diatur juga dalam pasal 2 ayat (2) UUD 1945)
Hal ini menegaskan bahwa MPR merupakan suatu kesekretariatan tersendiri dengan pengurusnya yaitu anggota DPR dan DPD untuk menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga yang mandiri.
Pasal 10 ; “MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara”

Selain itu MPR sebagai suatu lembaga permanen juga tercantum dalam pasal 7, pasal 8 dan pasal 11 huruf g UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang mengatur :
Pasal 7 ; mengenai pimpinan
Pasal 7 ayat (1) menyataakan, “pimpinan MPR terdiri atas seorang ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsure DPR dan DPD yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR dalam sidang paripurna MPR”
Pasal 8 ayat (1) mengenai tugas pimpinan MPR adalah :
a.       Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan
b.      Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua
c.       Menjadi juru bicara MPR
d.      Melaksanakn dan memasyaraktkan putusan MPR
e.       Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya sesuai dengan putusan MPR
f.       Mewakili MPR dan /atau alat kelengkapan MPR di pengadilan
g.      Melaksanakan putusan MPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
h.      Menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran MPR; dan
i.        Mempertenggungjawabkan pelaksaan tugasnya dalam sidang paripurna MPR

Hal ini mencerminkan terpenuhinya kelengkapan administrasi dan organisasional anggota individu. Dimana terdapatnya suatu stuktur lembaga yang mempunyai pimpinan sebagaimana ditentukan dalam pasal 7 ayat (1) diatas serta pimpinan tersebut memiliki tugas-tugas tertentu yang tercantum dalam pasal 8 ayat (1), MPR pun memiliki kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran MPR tersendiri sebagaimana mestinya sebagai suatu lembaga hal tersebut tertuang dalam pasal 8 ayat (1) huruf h.

Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2) menyatakan, “ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksanaanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR
Pasal 11 huruf g menyatakan,MPR mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR
Kedua pasal itu mengemukakan bahwa MPR memiliki kode etik dan badan kehormatan tersendiri. Sebgai lembaga yang mandiri, MPR memiliki kewenangan-kewenangan penuh dalam hal koerganisasian termasuk di dalamnya untuk membuat aturan main/kode etik bagi anggotanya namun sehubungan anggota MPR adalah juga anggota DPR dan DPD yang juga mempunyai aturan main, maka permasalahan akan timbul misalnya ketika ada anggota MPR yang dipecat karena dianggap melanggar kode etik, apakah secara otomatis juga diberhentikan menjadi anggota DPR dan DPD, sedangkan antara ketiga lembaga tersebut merupakan lembaga yang mandiri, untuk itu maka harus ada sinkronisasi tentang hal tersebut diantara ketiga lembaga tersebut.

Konsekuensi sebgai lembaga yang mandiri, mestinya selain mendapat gaji sebagai anggota DPR atau DPD, anggota kedua lembaga tersebut juga akan mendapatkan gaji sebagai anggota MPR. Hal tersebut tercantum dalam ketentuan sebuah lembaga yaitu adanya system penggajian, namun MPR sendiri tidak mengatur tentang penggajian tersebut.

B.     MPR sebagai forum sidang gabungan/joint session

Dalam pengertian MPR sebagai forum sidang gabungan adalah bahwa MPR tidak lagi sebagai lembaga yang mandiri. MPR hanya merupakan forum pertemuan antara dua lembaga Negara, yaitu DPR dan DPD. Ketika sidang berlangsung, baik anggota DPR dan DPD yang bersidang bersama tersebut tetap dalam kedudukannya sebagai anggota DPR atau DPD dan tidak menjadi anggota dari MPR.

MPR sebagai forum sidang gabungan ini terlihat pada tugas dan wewenag MPR yang tercantum dalam pasal 11 huruf a s/d f UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yaitu :
a.       Mengubah dan menetapkan UUD
b.      Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil PEMILU dalam sidang paripurna MPR
c.       Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Makamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam sidang paripurna MPR
d.      Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya
e.       Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari
f.       Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari
Ketentuan-ketentuan mengenai tugas dan wewenag tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Berdasarkan tugas dan wewenang MPR sebagaimana dinyatakan diatas maka tugas dan wewenang MPR tersebut bukanlah merupakan tugas lembaga yang bersifat rutinitas melainkan bersifat insidentil.
Pasal 14 ayat (1) UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD juga menyatakan, “MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota Negara” yang mana juga di atur dalam pasal pasal 2 ayat (2) UUD’45.
Dari pasal  diatas telah jelas bahwa tugas, fungsi dan wewenang MPR bukan merupakan pekerjaan lembaga yang bersifat rutinitas. MPR hanya bekerja minimal lima tahun sekali, oleh karena itu dilihat dari sisi ini MPR dapat dikatakan bukan sebagai lembaga yang bersifat permanen melainkan hanya sebuah forum sidang bersama antara DPR dan DPD untuk melakukan tugas dan fungsi MPR yang bersifat insidentil.
Hal tersebut diperkuat dengan argumentasi sebagai berikut :
1.      MPR tidak lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan UUD’45
2.      MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden, sebab menurut ketentuan pasal 6A dan pasal 22E, Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui PEMILU oleh rakyat, MPR baru akan memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden pilihan rakyat tersebut berhalangan tetap (pasal 8 ayat (2 dan 3), tugas ini bersifat isidentil
3.      Dalam hal pemberhentian presiden (impeachment), kedudukan MPR seharusnya hanyalah sebagai lembaga “eksekusi” dari keputusan yang telah ditetapkan oleh Makamah Konstitusi (pasal 7A dan 7B UUD’45)
4.      Apabila sebagi lembaga Negara yang permanen (MPR berkedudukan sebagai parlemen yang anggotanya terdiri dari DPR dan DPD) seharusnya kewenangan antara DPR dan DPD seimbang, namun kenyataannya tidak demikian.

C.    Kesimpulan

Maka berdasarkan pendapat diatas saya menyimpulkan bahwa MPR merupakan forum sidang gabungan/joint session meskipun dalam peraturan perundangannya juga menyebutkan mengenai MPR sebagai suatu lembaga permanen.

Argumentasi :

1.      Apabila MPR sebagai lembaga permanen maka MPR memiliki kewenangan-kewenangan penuh dalam hal koerganisasian termasuk di dalamnya untuk membuat aturan main/kode etik bagi anggotanya namun sehubungan anggota MPR adalah juga anggota DPR dan DPD yang juga mempunyai aturan main, maka permasalahan akan timbul misalnya ketika ada anggota MPR yang dipecat karena dianggap melanggar kode etik, apakah secara otomatis juga diberhentikan menjadi anggota DPR dan DPD, sedangkan antara ketiga lembaga tersebut merupakan lembaga yang mandiri, untuk itu maka harus ada sinkronisasi tentang hal tersebut diantara ketiga lembaga tersebut.
2.      Konsekuensi sebagai lembaga yang mandiri, mestinya selain mendapat gaji sebagai anggota DPR atau DPD, anggota kedua lembaga tersebut juga akan mendapatkan gaji sebagai anggota MPR. Hal tersebut tercantum dalam ketentuan sebuah lembaga yaitu adanya system penggajian, namun MPR sendiri tidak mengatur tentang penggajian tersebut.
3.      Apabila sebagi lembaga Negara yang permanen (MPR berkedudukan sebagai parlemen yang anggotanya terdiri dari DPR dan DPD) seharusnya kewenangan antara DPR dan DPD seimbang, namun kenyataannya tidak demikian.
4.      MPR tidak lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan UUD’45
5.      MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden, sebab menurut ketentuan pasal 6A dan pasal 22E, Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui PEMILU oleh rakyat, MPR baru akan memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden pilihan rakyat tersebut berhalangan tetap (pasal 8 ayat (2 dan 3), tugas ini bersifat isidentil
6.      Dalam hal pemberhentian presiden (impeachment), kedudukan MPR seharusnya hanyalah sebagai lembaga “eksekusi” dari keputusan yang telah ditetapkan oleh Makamah Konstitusi (pasal 7A dan 7B UUD’45)
7.      Pasal 14 ayat (1) UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD juga menyatakan, “MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota Negara” yang mana juga di atur dalam pasal pasal 2 ayat (2) UUD’45. Dari pasal  tersebut telah jelas bahwa tugas, fungsi dan wewenang MPR bukan merupakan pekerjaan lembaga yang bersifat rutinitas. MPR hanya bekerja minimal lima tahun sekali, oleh karena itu dilihat dari sisi ini MPR dapat dikatakan bukan sebagai lembaga yang bersifat permanen melainkan hanya sebuah forum sidang bersama antara DPR dan DPD untuk melakukan tugas dan fungsi MPR yang bersifat insidentil.

Oleh : Agustin Dwi Ria Mahardika, untuk tugas HTN II tentang krdudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Diambil dari bahan materi kuliah HTN II oleh Bpk. Iswanto, UUD 1945 dan UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.









Rabu, 02 Februari 2011

SISTEM PEMILU YANG DIANUT OLEH UU NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD KABUPATEN/KOTA


System pemilu yang di anut UU No.10 tahun 2008 untuk  pemilu anggota DPR dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota adalah sistem proposional terbuka sedangkan untuk memilih anggota DPD dengan system distrik berwakil banyak.
 Dasar hukum
Hal tersebut di dasarkan pada pasal 5 ayat (1) & (2) UU No. 10 tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut :
(1)   Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
(2)   Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil
banyak.
Penjelasan :
·         Sistem  proposional terbuka
System ini pada dasarnya merupakan kombinasi antara system proposional dan suara terbanyak, artinya dalam menentukan calon yang berhak duduk di lembaga perwakilan rakyat tidak hanya di dasarkan pada nomer urut akan tetapi perolehan suara calon juga diukur berdasarkan angka BPP, maka calon tersebut berhak duduk di lembaga perwakilan rakyat walaupun nomer urutnya diurutan terbawah (nomer sepatu). Seorang calon untuk memperoleh dukungan suara sesuai dengan BPP kemungkinannya sangat kecil , untuk itu maka biasanya UU menentukan dengan prosentase, misalnya 30% dari BPP.
Pasal 214 UU No.10 th 2008

Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta
Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:

a.       calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;

b.      dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;

c.       dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan
perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada
calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi
ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi
calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;

d.      dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah
kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi
diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;

e.        dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya   30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarka nomor urut;

·         System distrik
System ini didasarkan pada kesatuan geografis dan setiap kesatuan geografis hanya akan muncul satu pemenang. Untuk itu, dalam melaksanakan system ini wilayah Negara akan dibagi-bagi dalam beberapa wilayah kesatuan geografis/distrik, sedangkan jumlah distrik disesuaikan degan  jumlah kursi parlemen yang akan diisi. Penentuan pemenang/calon terpilih dalam system distrik menggunakan kaidah mayoritas, yaitu bahwa calon yang mendapatkan suara terbanyak ditentukan sebagai pemenang.

Pasal 202 UU No.10 tahun 2008

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

HAK PILIH
Sedangkan untuk penggunaan hak pilih menurut UU no. 10 tahun 2008 menggunakan adult suffrage system  yaitu suatu system yang tidak membedakan hak pilih wanita ataupun laki-laki dalam pemilu. Hal ini didasarkan pada pasal 19 ayat (1) UU No. 10 tahun 2008 yang berbunyi:
“Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur  17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai hak  memilih “
Hak pilih yang digunakan menurut UU no. 10 tahun 2008 adalah hak pilih langsung artinya rakyat langsung menentukan wakil-wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini didasarkan pada pasal 2 dan pasal 3 UU No. 10 tahun 2008 yang berbunyi :

Pasal 2
“Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”
Pasal 3
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”

oleh Agustin Dwi Ria M sebagai Tugas HTN II(semester III)