Senin, 13 Juni 2011

URGENSI PENGADAAN TEMPAT REHABILITASI BAGI KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI KOTA SURAKARTA Disusun oleh : Yusuf Usman Nurfitriawan C.100.080.165 2008 Agustin Dwi Ria Mahardika C.100.090.012 2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. Gagasan Kreatif
Gagasan tertulis yang kami sampaikan melalui karya tulis ini
adalah berupa saran kepada Pemerintah Kota Surakarta dalam rangka
mewujudkan negara hukum yang berkeadilan melalui penegakan hukum
progresif dalam dunia praktek hukum di Indonesia, yaitu untuk pengadaan
sebuah tempat rehabilitasi yang disediakan khusus bagi korban perdagangan
orang (dalam hal ini anak) karena menurut hemat kami, korban perdagangan
orang (anak) mempunyai kecenderungan untuk lebih diperhatikan melalui
pelayanan-pelayanan yang nantinya dapat memperkuat mental dan keyakinan
korban untuk dapat berinteraksi dengan dunia luar.
Pengadaan tempat khusus rehabilitasi bagi anak korban
perdagangan (trafficking) merupakan suatu keharusan, karena pertama, anak
adalah generasi penerus (future generation), sehingga diperlukan perhatian
khusus, bahkan ada salah satu kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan
pengarusutamaan hak anak. Kedua, tempat khusus yang merupakan salah satu
bentuk tempat pelayanan terpadu itu ditentukan dalam UU. No. 21 Tahun
2007 tentang Tindak Pidana Perdaganagan
2
B. Latar Belakang
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Demikian bunyi Pasal
1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara sederhana
ayat ini dapat ditafsirkan bahwasanya negara Indonesia menjunjung tinggi
nilai hukum yang bertujuan, seperti yang dikatakan Lawrence Friedman, untuk
menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tujuan tersebut
dilayangkan untuk melindungi segenap masyarakat Indonesia dari berbagai
permasalahan hukum dan menyamaratakan semua hak masyarakat dalam
bidang hukum. Termasuk dalam hal ini adalah tentang adanya rehabilitasi
terhadap korban perdagangan anak.
Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pengertian
rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan
sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat. Sedangkan pengertian korban menurut
Pasal 1 angka 3 pada undang-undang yang sama adalah seseorang yang
mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial,
yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Pengertian perdagangan orang menurut Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang
atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan
3
dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia.
Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakukan
terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambahya
masalah perdagangan orang diberbagai negara, termasuk Indonesia
dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi
perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan
anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).1
Menurut laporan Asian Development Bank (ADB) paling tidak
sebanyak satu sampai dua juta manusia diestimasi telah diperjual
belikan setiap tahun diseluruh dunia. Menurut laporan tersebut,
sebagian besar penjualan orang berasal dari negara miskin, 150.000
dari negara Asia Barat dan 225.000 dari negara Asia Tenggara.2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, memberikan perhatian yang besar
terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pindana
perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan
oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian
bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan
sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara
khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan
sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Pencegahan dan
penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung
jawab Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga.3
1 Alinea I Penjelasan Umum atas UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
2 Jurnal Perempuan 29, 2003:4
3 Alinea VI Penjelasan Umum atas UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
4
Untuk melindungi kepentingan korban, ada pembentukan pusat
pelayanan terpadu bagi saksi atau korban tindak pidana perdagangan orang
seperti yang tertuang pada pasal 46 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi,
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap
kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi
dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme
pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah
Menurut penuturan salah seorang yang tergabung dalam tim
Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta (selanjutnya
disebut PTPAS), rehabilitasi terhadap korban perdagangan orang di Surakarta
dilakukan melalui kerja sama antara Government Organization (GO) dengan
Non-Government Organization (NGO). Hal ini dilakukan karena tidak adanya
sumber daya manusia yang memadai dari institusi-institusi pemerintahan yang
ada di Surakarta yang menangani tentang permasalahan rehabilitasi terhadap
korban perdagangan orang. Sistem yang dijalankan oleh PTPAS selama ini
adalah rehabilitasi dengan cara melakukan koordinasi dengan lembagalembaga
yang menaruh simpati terhadap korban perdagangan orang di
Surakarta.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ada sebuah kesenjangan
terjadi antara apa yang seharusnya terjadi (hal ini ditunjukkan dengan bunyi
undang-undang) dan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan (hal ini
ditunjukkan dengan pendapat PTPAS tentang sistem rehabilitasi), maka
penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam sebuah karya
tulis ilmiah dengan judul: URGENSI PENGADAAN TEMPAT
REHABILITASI BAGI KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI KOTA
SURAKARTA.
5
C. Rumusan Masalah
Agar karya tulis ini tetap mengarah kepada permasalahan dan tidak
menyimpang dari pokok pembahasan hingga menimbulkan kerancauan maka
diperlukan suatu pembatasan permasalahan. Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu dikemukakan. Adapun
perumusan masalah yang hendak dikemukakan penulis adalah sebagai berikut:
Apakah peran pemerintah dianggap penting dalam upaya
pengadaan tempat rehabilitasi bagi korban perdagangan anak di kota
Surakarta?
D. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis menentukan
tujuan penulisan untuk mendeskripsikan betapa pentingnya peran pemerintah
dalam upaya pengadaan tempat rehabilitasi bagi korban perdagangan anak di
kota Surakarta.
Berdasarkan permasalahan di atas, manfaat yang ingin dicapai
dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
6
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penulisan ini dapat memberikan
pengetahuan serta pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan pada khususnya mengenai
peran pemerintah dalam upaya pengadan tempat rehabilitasi bagi
korban perdagangan anak di kota Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan bahan masukan bagi penulis sendiri mengenai
ruang lingkup yang dibahas dalam penulisan ini.
b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir
yang dinamis mengenai peran pemerintah dalam upaya
pengadaan tempat rehabilitasi bagi korban perdagangan anak di
kota Surakarta.
E. Metodologi Penulisan
Metode penulisan mengemukakan secara teknis tentang metode
yang digunakan dalam penilisan ini. Adapun metode penulisan yang
digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Metodologi Penulisan
7
Karya tulis ilmiah ini merupakan karya ilmiah yang bersifat
normatif meskipun diperhatikan pula alasan-alasan dari sisi psikologis
(yaitu dengan pendekatan psikologis).
Albert A. Ehrenzweig, guru besar di Universitas Kalifornia,
menjadikan Freud sebagai titik pusat untuk mengupas semua
pemikiran tentang hukum. Freud diterimanya sebagai seorang
yang telah mampu menelanjangi dan menjungkir-balikkan
anggapan-anggapan dan pemikiran-pemikiran manusia,
sehingga timbul suatu zaman baru dalam ilmu, khususnya di
bidang psikologi. Ehrenzweig melihat kebaruan tersebut sebagai
sesuatu yang bisa juga dipakai dalam bidang kritik teori hukum,
yaitu dengan mengupas dan menelanjangi apa yang sebetulnya
selama ini diperdebatkan di kalangan para teoritisi, sehingga
menghasilkan berbagai jenis aliran dan pendekatan dalam ilmu
hukum itu. Dengan menggunakan psychoanalysis, mengaitkan
dengan persoalan Superego, Ehrenzweig mengupas soal
keadilan, kesalahan dalam hukum perdata, pemidanaan dan
sebagainya.4
Karena merupakan karya tulis ilmiah yang bersifat normatif,
maka pada awal tulisan ini akan dipaparkan identifikasi, inventarisasi
dan sinkronisasi. Identifikasi dan inventarisasi yang dimaksud adalah
identifikasi dan iventarisasi peraturan-peraturan hukum dari tingkat
pusat sampai dengan tingkat daerah, yaitu tingkat kota Surakarta.
Sinkronisasi yang dimaksud adalah mengkaji keserasian dan
keharmonisan peraturan hukum, dalam hal ini secara vertikal. Hal ini
dilakukan karena di dalam aturan hukum berlaku asas lex superior
derogat legi inferiori yang artinya aturan yang lebih tinggi
mengesampingkan aturan yang lebih rendah.
4 Albert A. Ehrenzweig dalam bukunya Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. Hal. 357-358.
8
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui penelitian studi kasus5, yaitu
studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan
terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan
menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi
oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa
program, peristiwa, aktivitas, atau individu.
3. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di
Pemerintah Kota Surakarta, khususnya PTPAS. Lokasi penelitian
tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa PTPAS dapat memberikan
data yang diinginkan penulis, yaitu informasi tentang anak sebagai
korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dapat dipertanggungjawabkannya informasi yang didapatkan
karena berasal dari informan yang berwenang memberikan informasi
tentang anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.
4. Jenis Data
Data yang diperlukan untuk penulisan ini adalah data yang
bersifat sekunder yang berupa peraturan hukum yang dapat
dikategorikan menjadi bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
2. Bahan Hukum Sekunder
Hasil wawancara dengan PTPAS
5 Yuliyantho. Metode Penelitian Kualitatif. Diakses dari http://blog.unila.ac.id/young/metodepenelitian-
kualitatif pada hari Kamis tanggal 9 Juni 2011 pukul 20.04 WIB.
9
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dimaksud diatas digunakan teknik
wawancara6 yang merupakan alat rechecking atau pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth
interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara,
di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan
sosial yang relatif lama.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat
mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan
berbicara, sensitifitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan
nonverbal. Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua
jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang
dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa
(wawancara dengan keluarga responden). Beberapa tips saat
melakukan wawancara adalah mulai dengan pertanyaan yang
mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan
multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum
building raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi,
berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif.
6. Teknik Analisis Data
Analisis terhadap urgensi ini dikaji dari perspektif normative
menggunakan teori Hans Kelsen tentang Stufenbau theory, bahwa
peraturan hukum itu merupakan sebuah system yang berjenjang dimana
peraturan yang berada pada posisi atas merupakan dasar keberlakuan untuk
peraturan di bawahnya. Oleh karena itu peraturan hukum dari yang
tertinggi hingga ke bawah itu harus sinkron.7
6 Yuliyantho. Ibid.
7) Hans Kelsen dalam Darji Damodiharjo dan Shidarta, Pokok – Pokok Filsafat Hukum:Apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesia, Jakarta :Gramedia Pustaka Utama, 2002, halaman 115 dst.
10
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Telaah Umum Tentang Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pembahasan tentang tindak pidana sebagai masalah
pokok hukum pidana akan memperlihatkan arti pentingnya tindak
pidana sebagai salah satu dari tiga masalah pokok hukum pidana.
Tiga masalah pokok hukum pidana, meliputi:
a. Masalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana;
b. Masalah pertanggung jawaban pidana dari si pelaku atau
kesalahan;
c. Masalah saksi atau pidana.8
Moeljatno, mendefinisikan perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut.9
Van Hamel, mendefinisikan yaitu kelakuan orang yang
dirumuskan dalam Undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.10
Mezger, mendefinisikan tindak pidana, yaitu keseluruhan
syarat untuk adanya pidana.11 Sementara itu, J. Baumann memberikan
tindak pidana, yaitu perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.12
8Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 111.
9 Ibid. Hal. 112.
10 Moeljatno. 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Hal. 56.
11Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Op. Cit. Hal. 113.
12Moeljatno. Loc. Cit.
11
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Hazewinkel-suringa, menyebutkan unsur-unsur tindak pidana
meliputi: 13
a. Unsur kelakuan orang;
b. Unsur akibat (pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiel);
c. Unsur psikis (dengan sengaja atau dengan alpa);
d. Unsur objektif yang menyertai keadaan tindak pidana, seperti dimuka
umum;
e. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidanya perbuatan (Pasal164,
dan Pasal 165) disyaratkan apabila tindak pidana terjadi;
f. Unsur melawan hukum.
Sementara itu, D. Simons membedakan unsur-unsur tindak
pidana menjadi sujektif dan objektif. Unsur objektif dalam tindak pidana
meliputi: 14
a. Perbuatan orang;
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai keadaan itu, seperti di
muka umum pada Pasal 181 KUHP.
Unsur subjektif dalam tindak pidana meliputi:
a. Orang yang mampu bertanggung jawab;
b. Adanya kesalahan (dolus/culpa).
3. Pembagian Tindak Pidana
a. Tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran
Kejahatan merupakan delik hukum (recht delicten)
yaitu suatu perbutan yang memang berdasarkan kualitas atau
sifat-sifat dari perbutan itu adalah sangat tercela, lepas dari
persoalan ada tidaknya penetapan didalam peraturan
perundang-undangan sebagai tindak pidana. Sementara itu,
pelanggaran dikenal sebagai (wet delicten), yakni perbuatan
yang dipandang sebagai perbuatan yang tercela, sebagai tindak
pidana semata-mata karena ditetapkan oleh peraturan
perundang- undangan.15
Kejahatan dimengerti sebagai delik (menurut)
hukum sedangkan pelanggaran sebagai delik (menurut)
13Ibid. Hal. 115.
14Loc. Cit.
15 Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 131.
12
Undang-Undang. Dalam konteks kejahatan, suatu perbuatan
dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan dengan
pengertian tertib hukum. Sementara dalam konteks
pelanggaran, yang kerap disebut ‘politieonrecht’ (pelanggaran
menurut sudut pandang polisi).16
b. Tindak Pidana Formal dan tindak pidana materiel
Tindak Pidana Formal atau delik formal adalah
tindak pidana yang perumusannya lebih menitikberatkan pada
perbuatan yang dilarang dan bukan pada akibat dari perbuatan
itu. Contohnya: penghinaan (Pasal 315 KUHP), penghasutan,
pemalsuan. Sementara, tindak pidana materiil adalah atau delik
materiel adalah tindak pidana yang perumusannya lebih
menitikberatkan pada akibat dari perbuatan itu dalam delik ini,
bentuk perbuatan yang menimbulkan itu tidak penting karena
yang menjadi unsur pokok tindak pidananya adalah akibat dari
perbuatan itu.17
Tindak Pidana Formil adalah tindak pidana dalam
perundang-undangan cukup disebut dengan merujuk pada
perbuatan tertentu atau kelalaian sedangkan tindak pidana
materiil adalah perbuatan yang menyebabkan konsekuensikonsekuensi
tertentu, dimana perbuatan tersebut kadang
tercakup dan kadang tidak tercakup sebagai unsur dalam
perumusan tindak pidana.18
c. Tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana dengan
kealpaan.
Tindak pidana dengan kesengajaan, merupakan
tindak yang terjadi karena pelaku tindak pidana itu memang
mempunyai keinginan atau kehendaki untuk melakukan
perbuatan tertentu itu, termasuk juga menghendaki timbulnya
akibat dari perbuatan itu. Sementara itu, tindak pidana dengan
unsur kealpaan merupakan tindak pidana yang terjadi
16 Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 67
17 Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Op. Cit. Hal. 133
18 Jan Remmelink. Op. Cit. Hal. 70-71
13
sementara si pelakunya tidak memiliki keinginan atau
kehendak untuk melakukan sesuatau perbuatan itu.19
d. Tindak Pidana Aduan Dan tindak pidana bukan aduan20
Tindak pidana aduan merupakan tindak pidana yang
penuntutannya didasarkan pada adanya pengaduan dari pihak si
korban dari tindak pidana itu. Tindak pidana aduan ini biasanya
dibedakan menjadi dua:
Tindak Pidana Aduan Absolut adalah
penuntutannya semata- mata dilakukan jika ada pengaduan dari
pihak si korbanlah yang harus bersikap proaktif melakukan
pengaduan kepada pihak si korban, si korbanlah yang harus
proaktif melakukan pengaduan kepada pihak yang berwenang.
Tindak pidana aduan relatif adalah merupakan
tindak pidana yang terjadi diantara orang-orang yang
mempunyai hubungan dekat. Sementara itu, Tindak pidana
bukan aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya tidak
didasarkan pada prakarsa atau inisiatif dari si korban.
Tindak pidana bukan aduan merupakan tindak
pidana yang penuntutannya tidak didasarkan pada prakarsa atau
inisiatif dari si korban.
e. Tindak pidana commmissionis, tindak pidana omissionis dan
tindak pidana commmissionis per omisionem commissa
Tindak pidana commmissionis adalah tindak pidana
itu berupa melakukan sesuatu perbutan yang dilarang oleh
peraturan perundang-undangan , jadi merupakan pelanggaran
terhadap larangan.
Tindak pidana omissionis adalah tindak pidana itu
berupa perbuatan pasif atau negatif, ditandai dengan tidak
19 Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Op. Cit. Hal. 134
20 Ibid. hal. 134-135
14
dilakukannya sesuatu perbuatan yang diperintahkan atau
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Tindak pidana
commmissionis per omisionem commissa adalah perbuatan itu
sebenarnya merupakan tindak pidana commmissionis tetapi
dilakukan denagan jalan tidak berbuat, yakni tidak melakukan
sesuatu yang merupakan kewajibannya.21
Tindak pidana Commissionis adalah tindak pidana
yang terjadi karena suatu perbuatan telah dilakukan, perbuatan
aktif yang bertentangan dengan atau melanggar suatu larangan.
Tindak pidana omissionis yaitu tindak pidana yang terfokus
pada sikap tidak melakukan atau melalaikan suatu kewajiban
atau perintah hukum. Tindak pidana ini selalu dirumuskan
secara formil, misalnya dengan sengaja tidak memenuhi
panggilan sebagai saksi.22
f. Delik yang berlangsung terus dan yang tidak berlangsung terus.
Delik yang berlangsung terus merupakan tindak
pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung lama. Sementara itu, Delik yang yang tidak
berlangsung terus, merupakan tindak pidana yang terjadinya
tidak mensyaratkan keadaan terlarang yang berlangsung lama.23
g. Delik tunggal dan delik berganda
Delik tunggal adalah tindak pidana yang terjadi
cukup dengan perbuatan satu kali. Sementara itu, delik
berganda adalah suatu tindak pidana yang baru dianggap terjadi
bilamana dilakukan beberapa kali perbuatan.24
h. Tindak pidana sederhana dan tindak pidana yang ada
pemberatannya.
Tindak pidana sederhana, contohnya penganiayaan
(Pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP). Sementara
21 Ibid. hal. 136-137
22 Jan Remmelink. Log. Cit.
23 Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Op. Cit. Hal. 137
24 Ibid.
15
itu, tindak pidana yang ada pemberatannya, contohnya
pembunuhan dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
(Pasal 340 KUHP); penganiayaan yang menyebabkan luka
berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat (2), (3) KUHP);
pencurian pada waktu malam (Pasal 363 KUHP).25
i. Tindak pidana ringan dan tindak pidana berat
Tindak pidana ringan adalah Tindak pidana yang
dampak kerugiannya tidak besar dan karena itu juga ancaman
pidanya juga ringan. Sementara itu, tindak pidana berat adalah
Tindak pidana yang dampak kerugian yang ditimbulkannya
sangat besar dan karena itu ancaman pidananya juga berat.26
j. Tindak pidana ekonomi, tindak pidana politik
Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang
berada dalam bidang atau masalah ekonomi. Sementara, tindak
pidana politik yaitu tindak pidana yang termasuk dalam
masalah politik, tindak pidana yang termasuk dalam masalah
politik.27
j. Tindak Pidana Berdiri Sendiri dan Tindak Pidana Lanjutan
Perbedaan ini menjadi penting dalam hal penjatuhan
pidana. Ketentuan pasal 56 Sr. Pasal 64 KUHP menetapkan
bahwa dalam hal lebih dari satu tindakan, meskipun masingmasing
tindakan menghasilkan kejahatan atau pelanggaran
yang berdiri sendiri, yang (namun demikian) yang saling
berkaitan sehingga harus dipandang sebagai satu tindakan
lanjutan, (maka) dijatuhi satu pidana saja. Jika ancaman
pidananya berbeda-beda akan ditetapkan pidana pokok yang
paling berat.28
k. Tindak Pidana Rampung dan Tindak Pidana Berlanjut
25 Ibid. hal 137-138
26 Ibid. hal. 138
27 Ibid
28 Jan Remmelink. Op. Cit. Hal. 80
16
Tindak pidana rampung atau selesai adalah tiada
lebih dari suatu perbuatan yang mencakup melalaikan,
melakukan atau melalaikan (suatu kewajiban hukum) atau
menimbulkan akibat tertentu. Tindak pidana berlanjut yaitu
perbuatan yang menciptakan atau menimbulkan suatu keadaa
yang dilarang atau berlanjut. Merampas kemerdekaan
seseorang adalah satu perbuatan secara melawan hukum yang
selesai. Sebaliknya, terus mempertahankan keadaan
terampasnya kemerdekaan seseorang merupakan delik berlanjut
(Pasal 282 Sr, Pasal 333 KUHP).29
l. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus
Tindak pidana umum adalah Tindak pidana yang
dapat dilakukan oleh siapapun, Tindak pidana khusus adalah
tindak pidana yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka
yang memenuhi kualifikasi atau memiliki kualitas tertentu
seperti pegawai negeri, pelaut, militer30
B. Telaah Umum Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
1. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 tahun
2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.
29 Ibid. hal. 80-81
30 Ibid. hal. 71-72
17
2. Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau dari Hukum Positif
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang:
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkuta,
penampunagn, pengiriman,m pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, pemnipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau menfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paliang singkat 3
tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
C. Telaah Umum Tentang Rehabilitasi Korban Perdagangan Orang
1. Pengertian Rehabilitasi
Pengertian rehabilitasi dapat kita lihat dalam pasal 1 angka 14
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, yaitu Rehabilitasi adalah pemulihan dari
gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat
melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.”
2. Rehabilitasi Korban Perdagangan Orang Ditinjau dari Hukum Positif
Mengenai perlindungan atas korban tindak pidana perdagangan
orang, undang-undang mengatur mengenai hak korban untuk tidak di
abaikan yang terdapat dalam pasal 51 dan pasal 52 UU Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 51 menyebutkan bahwa:
18
(1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang
bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat
tindak pidana perdagangan orang.
(2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban
atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping,
atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya
atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada
pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalahmasalah
kesehatan dan sosial di daerah.
Dalam Pasal 52 menyebutkan bahwa:
(1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling
lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan.
(2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah
perlindungan sosial atau pusat trauma.
(3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat
pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
19
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan Keputusan Wali Kota Surakarta No. 462.05/84-
A/1/2010 tentang Tim Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota
Surakarta (PTPAS) Di kota Surakarta telah di bentuk Tim Pelayanan Terpadu
Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS) yang bertugas :
1. Menurumuskan dan menyusun pokok-pokok kebijakan, program, kegiatan
tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, Eksploitasi
Seks Komersial Anak (ESKA), traficking, Anak yang Berhadapan dengan
Hukum (ABH), Anak Korban Penculikan, Anak Korban Penculikan, Anak
Terlantar dan Anak Jalanan
2. Melakukan koordinasi, pelayanan, pemantauan dan evaluasi terhadap
penanganan kasus perempuan dan anak korban kekerasan, Eksploitasi
Seks Komersial Anak (ESKA), traficking, Anak yang Berhadapan dengan
Hukum (ABH), Anak Korban Penculikan, Anak Korban Penculikan, Anak
Terlantar dan Anak Jalanan
3. Melakukan upaya fasilitasi perlindungan perempuan dan anak korban
kekerasan, Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA), traficking, Anak
yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), Anak Korban Penculikan, Anak
Korban Penculikan, Anak Terlantar dan Anak Jalanan dengan memberikan
layanan medis, hukum, konseling, rehabilitasi dan rumah aman atau
shelter
4. Melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak
20
5. Melakukan upaya untuk mendorong dan meningkatan partisipasi
masyarakat atau penguatan kelembagaan perlindungan perempuan dan
anak terhadap tindak kekerasan
6. Melakukan kerjasama lintas wilayah dalam rangka perlindungan
perempuan dan anak terhadap tindak kekerasan
7. Menyampaikan laporan kepada Walikota Surakarta
Dalam rangka pendampingan kepada korban perempuan dan anak,
tim dapat melakukan koordinasi dan kerjasama penanganan korban yang
didasarkan pada peranan Tim Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak
Kota Surakarta (PTPAS) dan standar operasional prosedur sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki masing-masing lembaga.
Keputusan tersebut juga di dasarkan pada UU No. 21 tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 4720), Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 3 tahun 2006
tentang Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial (Lembaran Daerah Kota
Surakarta Tahun 2006 Nomor 3 seri E Nomor 1) dan juga Peraturan Daerah
Kota Surakarta Nomor 6 tahun 2008 tentang Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial (Lembaran Daerah Kota Surakarta tahun 2006 Nomor 3 Seri E
Nomor 1).
Pembentukan Tim Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak
Kota Surakarta (PTPAS) Di kota Surakarta yang didasarkan pada Keputusan
21
Wali Kota Surakarta No. 462.05/84-A/1/2010 tentang Tim pelayanan Terpadu
Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS) Di kota Surakarta, dalam
hal rehabilitasi maka akan terlihat koordinasi dan kerjasama PTPAS dengan
lembaga-lembaga yang tergabung di dalamnya. Disana di cantumkan bahwa
yang berperan melaksanakan pelayanan rehabilitasi dibagi dalam lembagalembaga
diantaranya :
1. Kepala Rumah Sakit Jiwa Surakarta
Melaksanakan pelayanan rehabilitasi psikologis bagi korban kekerasan
berbasis gender dan anak.
2. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kota Surakarta
a. Melaksanakan pelayanan di bidang rehabilitasi pendidikan baik
formal atau non formal bagi korban kekerasan berbasisi gender dan
anak
b. Melakukan monitoring dan evaluasi
3. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta
a. Melaksanakan upaya perlindungan dan pelayanan di bidang sosial
bagi korban kekerasan berbasis gender dan anak, anak jalanan dan
anak terlantar
b. Melaksanakan upaya rehabilitasi sosial dan ekonomi bagi anak
jalanan dan anak terlantar
c. Melakukan mentoring dan evaluasi
B. Pembahasan
Pasal 51 ayat (1) UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
(1) Korban perdagangan orang berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah
22
apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis
akibat tindak pidana perdagangan orang.
Yang dimaksud dengan “Rehabilitasi kesehatan” dalam
ketentuan ini adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun
psikis. Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” dalam ketentuan ini
adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang
kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat
memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban.
Hak atas pemulangan harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa
korabn benar-benar menginginkan pulang, dan tidak beresiko bahaya
yang lebih besar bagi korban tersebut.31
Selain itu dalam pasal 52 UU No. 21 tahun 2007 tentang
Pemebrantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan bahwa
(1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagai mana
dimaksud dalam pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh)
hari terhitung sejak diajukan permohonan.
(2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah
perlindungan sosial atau pusat trauma.
(3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula
membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Pembentukan
rumah perlindungan sosial atau pusat trauma dilakukan sesuai dengan
kebutuhan masing-masing daerah, dengan memperhatikan asas prioritas.
Dalam hubungannya dengan suatu gejala sosial budaya,32
pengaturan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini
31 Penjelasan Pasal 51 ayat 1 UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
32 E. Utrecht. 1983. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru. Hal. 2.
23
dimaksudkan untuk menjalankan fungsi hukum pidana itu sendiri
yakni mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar
dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Berkaitan dengan
hal ini, Adami Chazawi mengatakan bahwa secara khusus sebagai
bagian dari hukum publik, hukum pidana berfungsi:33
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang
atau memperkosa kepentingan hukum tersebut;
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara
menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara
melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.
Pemecahan masalah yang ada, seperti yang sudah dipaparkan di
atas, yaitu menurut PTPAS rehabilitasi terhadap korban perdagangan orang di
Surakarta dilakukan melalui kerja sama antara Government Organization
(GO) dengan Non-Government Organization (NGO). Hal ini dilakukan karena
tidak adanya sumber daya manusia yang memadai dari institusi-institusi
pemerintahan yang ada di Surakarta yang menangani tentang permasalahan
rehabilitasi terhadap korban perdagangan orang. Sistem yang dijalankan oleh
PTPAS selama ini adalah rehabilitasi dengan cara melakukan koordinasi
dengan lembaga-lembaga yang menaruh simpati terhadap korban perdagangan
orang di Surakarta.
33 Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hal. 15.
24
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang kami peroreh dan telah kami
jabarkan dalam bab pembahasan maka pengadaan tempat khusus rehabilitasi
bagi anak korban perdagangan (trafficking) merupakan suatu keharusan,
karena pertama, anak adalah generasi penerus (future generation), sehingga
diperlukan perhatian khusus, bahkan ada salah satu kewajiban bagi pemerintah
untuk mewujudkan pengarustamaan hak anak. Kedua, temapt khusus yang
merupakan salah satu bentuk tempat pelayanan terpadu itu ditentukan dalam
UU No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan.
25
B. Saran
Saran yang kami sampaikan melalui karya tulis ini adalah berupa
saran kepada Pemerintah Kota Surakarta dalam rangka mewujudkan negara
hukum yang berkeadilan melalui penegakan hukum progresif dalam dunia
praktek hukum di Indonesia, yaitu untuk pengadaan sebuah tempat rehabilitasi
yang disediakan khusus bagi korban perdagangan orang karena menurut hemat
kami, korban perdagangan orang mempunyai kecenderungan untuk lebih
diperhatikan melalui pelayanan-pelayanan yang nantinya dapat memperkuat
mental dan keyakinan korban untuk dapat berinteraksi dengan dunia luar.
26
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Darji Damodiharjo dan Shidarta. 2002. Pokok – Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
E. Utrecht. 1983. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru.
Moeljatno. 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana.
Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jurnal Perempuan 29, 2003:4
Yuliyantho. Metode Penelitian Kualitatif. Diakses dari
http://blog.unila.ac.id/young/metode-penelitian-kualitatif pada hari
Kamis tanggal 9 Juni 2011 pukul 20.04 WIB.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
27
CURICULUM VITAE
Penulis 1
a. Nama : Yusuf Usman Nurfitriawan
b. Tempat/ tanggal lahir : Sragen, 8 Mei 1990
c. Karya- karya ilmiah
mahasiswa yang pernah di buat : -
d. Penghargaan Ilmiah
yang pernah diraih : -
e. Contact person : 085642426486
f. Email : ucup_eleven@yahoo.co.id
Penulis 2
a. Nama : Agustin Dwi Ria Mahardika
b. Tempat/ tanggal l ahir : Magetan, 18 Agustus 1989
c. Karya- karya ilmiah
mahasiswa yang pernah di buat : PKM-P dengan judul“Pergeseran
Gender dalam Lingkungan Masyarakat
Keraton Surakarta dan implikasinya
terhadap masyarakat (Studi Kasus di
Keraton Surakarta)”
d. Penghargaan Ilmiah
yang pernah diraih : -
e. Contact person : 085235002031
f. Email : agustinmahardika45@gmail.com
28
p