Jumat, 25 Mei 2012

PERJANJIAN KERJA





1. Tinjauan Tentang Ketentuan Perjanjian Kerja Antara Tenaga Kerja dan Pengusaha

a. Tinjauan Tentang Ketentuan Perjanjian Kerja
1) Pengertian Perjanjian Kerja
Di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 didefiniskan bahwa Perjanjian kerja adalah “Perjanjian antara pekerja dengan pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Perjanjian kerja ini dibuat antara lain untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga.
2) Syarat-syarat Perjanjian Kerja
Menurut Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a) kesepakatan kedua belah pihak;
b) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c) adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d) pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang tidak dibuat berdasarkan kesepakatan dan subyeknya tidak cakap menurut hukum maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak dengan tidak adanya pekerjaan yang diperjanjian dan perjanjian kerja yang bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku maka batal demi hukum

3) Jenis Perjanjian Kerja
Jenis Perjanjian Kerja dibagi menjadi perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja tidak tertentu, pengertian perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu tersebut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu disebutkan sebagai berikut :
a) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
PKWT tidak diterapkan kepada setiap jenis pekerjaan, Undang-undang memberikan perlindungan dengan pembatasan agar PKWT diterapkan pada situasi-situasi khusus. Hal ini berarti bahwa diluar situasi-situasi tersebut, PKWT tidak diperbolehkan. Adapun batasan situasi tersebut, dinyatakan dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 sebagai berikut :
i. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
ii. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
iii. pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
iv. perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV/2004 diatur lebih lanjut mengenai persyaratan PKWT atas 4 jenis pekerjaan. Misalnya mengenai PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun diatur dalam Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut sebagai berikut :
i. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
ii. PKWT sebagaimana dimaksud diatas dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
iii. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.
iv. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
v. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
vi. Pembaharuan tersebut dilakukan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
vii. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.

b) Perjanjian Waktu Tidak Tertentu
Adapun mengenai perjanjian waktu tidak tertentu, pengaturannya dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003. Undang-undang ini memberikan kesempatan kepada perusahaan/pemberi kerja untuk memberlakukan masa percobaan paling lama 3 bulan. Hal ini salah satunya dilatarbelakangi oleh karena sifat perjanjian yang bersifat berkelanjutan dan jangka panjang, maka perusahaan memerlukan waktu untuk evaluasi pekerja tersebut sebelum menjadi pekerja tetapnya. Namun demikian menurut Pasal 61 tersebut, walaupun diberlakukan masa percobaan selama 3 bulan, perusahaan tidak diperkenankan membayar di bawah upah minimum. Menurut Pasal 55, Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
b. Tinjauan Tentang Tenaga Kerja
a. Pengertian Tenaga Kerja
1) Menurut Pasal 1 ayat (1) ,(2) dan (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a) Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
b) Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
c) Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barangdan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.Tenaga kerja menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah orang yang bekerja atau mengerjakansesuatu, orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan.
3) Menurut Para Ahli
Sjamsul Arifin, Dian Ediana Rae, Charles, Joseph, Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang bersifat homogen dalam suatu negara, namun bersifat heterogen (tidak identik) antar negara.
2. Jenis-jenis Tenaga Kerja
1) Tenaga Kerja Terdidik / Tenaga Ahli / Tenaga Mahir
Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang mendapatkan suatu keahlian atau kemahiran pada suatu bidang karena sekolah atau pendidikan formal dan non formal. Contohnya seperti sarjana ekonomi, insinyur, sarjana muda, doktor, master, dan lain sebagainya.

2) Tenaga Kerja Terlatih
Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu yang didapat melalui pengalaman kerja. Keahlian terlatih ini tidak memerlukan pendidikan karena yang dibutuhkan adalah latihan dan melakukannya berulang-ulang sampai bisa dan menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya adalah supir, pelayan toko, tukang masak, montir, pelukis, dan lain-lain.
3) Tenaga Kerja Tidak Terdidik dan Tidak Terlatih
Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Contoh tenaga kerja model ini seperti kuli, buruh angkut, buruh pabrik, pembantu, tukang becak, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
c. Tinjauan Tentang Pengusaha
1. Pengertian Pengusaha
a. Menurut Pasal 1 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Ayat 04
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Ayat 05
Pengusaha adalah :
1) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
b. Menurut Teori
Seorang pengusaha adalah seseorang yang telah memiliki perusahaan ,usaha atau ide dan mengasumsikan akuntabilitas yang signifikan bagi risiko yang melekat dan hasil. Pengusaha adalah istilah yang diterapkan pada tipe kepribadian yang bersedia mengambil bagi dirinya sendiri sebuah perusahaan baru atau perusahaan dan menerima tanggung jawab penuh untuk hasilnya.

Pengusaha adalah orang utama di balik sebuah perusahaan atau organisasi, dia atau dia dapat menunjukkan kualitas nya sebagai pemimpin dengan memilih manajer yang tepat bagi perusahaan. Sebuah teori yang lebih umum diadakan adalah bahwa pengusaha muncul dari populasi pada permintaan, dari kombinasi peluang dan orang posisi yang baik untuk mengambil keuntungan dari mereka.

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA





A. LATAR BELAKANG

“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara sederhana ayat ini dapat ditafsirkan bahwasanya negara Indonesia menjunjung tinggi nilai hukum yang bertujuan, seperti yang dikatakan Lawrence Friedman, untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tujuan tersebut dilayangkan untuk melindungi segenap masyarakat Indonesia dari berbagai permasalahan hukum dan menyamaratakan semua hak masyarakat dalam bidang hukum. Termasuk dalam hal ini adalah tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu Negara ,ataupun yang dilakukan melintasi batas wilayah Negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotoprika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdangan senjata gelap, penculikan, teroroisme, pencurian, peggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan kekayaan yang sangat besar jumlahnya.
Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan tersebut masuk kedalam system keuangan, terutama ke dalam system perbankan. Dengan cara demikian, asal-usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat di lacak oleh penegak hukum.
Maka hal ini akan menyulitkan penegak hukum dalam menyelidiki kasus-kasus kejahatan ini apalagi kejahatan tersebut juga di dukung dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya system keuangan termasuk system perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antarnegara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat.
Di Indonesia sendiri kasus mengenai kejahatan yang dipaparkan diatas belum banyak bermunculan, hal ini disebabkan belum adanya peraturan yang khusus untuk menangani kejahatan tersebut, sehingga para pelaku kejahatan dengan leluasa melakukan aksinya. Baru setelah di undangkannya undang-undang no.15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no.25 tahun 2003 mulailah bermunculan kasus-kasus pencucian uang seperti kasus century yang menjerat beberapa pengurus korporasi tersebut meskipun hingga kini belum ada penyelesaianya. Sedang kasus yang lagi marak saat ini adalah kasus suap Wisma Atlet yang menimpa M. Nazaruddin mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang ditetapkan sebagai tersangka kasus pencucian uang berupa pembelian saham PT Garuda Indonesia dari hasil korupsi suap Wisma Atlet.
Apa itu pencucian uang? Secara popular dapat dijelaskan bahwa aktivitas pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, penyuapan, perdagangan narkotika, kejahtan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan maksud menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari tindak pidana. Perbuatan menyamarkan, menyembunyikan atau mengaburkan tersebut dilakukan agar hasil kejahatan (proceed of crime) yang diperoleh seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceed of crime, memisahkan proceed of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahtan tanpa adanya kecurigaan dari aparat yang berwenang kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk mengebangkan aksi kejahatan selanjutnya atau dalam mencampurnya dengan bisnis yang sah.
Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) undang-undang no.15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no.25 tahun 2003 menyatakan, pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, mmbayarkan, membelanjakan, mengjibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Berdasarkan keterangan-keterangan diatas, membuat penulis penasaran mengenai system penegakan hukum di Indonesia terutama mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, maka penulis tertarik untuk menulis makalah mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.




B. PEMBAHASAN

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam penegakan hukum tindak pidana pencucian uang di Indonesia diantaranya adalah dengan menerapkan rezim anti pencucian uang.

Penerapkan Rezim Anti Pencucian Uang

Meskipun upaya memasukan pengaturan mengenai anti pencucian uang telah dilakukan pada saat penyusunan RUU KUHP pada tahun 1981, namun upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang secara formal dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer) pada tahun 2001. Ketiadaan undang-undang yang khusus mengatur masalah anti pencucian uang telah mengakibatkan dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar Negara yang tidak koorperatif atau Non-Cooperatif Countries and Territories (NCCTs) sejak tahun 2001 itu pula.
Keberadaan Indonesia di dalam daftar NCCTs sudah tentu membawa dampak negative tersendiri secara ekonomis maupun politis. Pertama, secara ekonomis, masuk ke dalam daftar NCCTs mengakibatkan mahalnya biaya yang di tanggung oleh industry keuangan dalam negeri dalam melakukan transaksi dengan mitranya di luar negeri. Dalam suatu pertemuan Forum komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan (FKDKP). Tinnginya biaya ini sudah tentu menjadi beban tambahan bagi perekonomian yang pada gilirannya mengurangi competitiveness dari produk-produk Indonesia di luar negeri. Kedua, secara politis, masuknya Indonesia ke dalam NCCTs dapat mengganggu pergaulan Indonesia di kancah Internasional karena image negative sebagai Negara yang system hukum dan system keuangannya terkontaminasi oleh masalah money laundering yang berasal dari bermacam kejahatan termasuk korupsi.
Berbagai upaya diambil oleh pemerintah dengan maksud untuk membangun rezim anti pencucian uang yang efektif yaitu diundangkanya Undang-Undang No.15 than 2002 yang secara tegas menyatakan kriminalisasi pencucian uang dan pendirikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melaksanakan undang-undang tersebut. PPATK, yang dalam bahasa generiknya adalah Financial Intelegence Unit (FIU), adalah suatu badan pemerintah yang bertanggung jawab kepada presiden yang independen dalam menjalankan tugasnya. Akan tetapi, Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tersebut dinilai oleh Financial Action Taks Force (FATF) on money loundering masih memiliki banyak kelemahan karena belum sepenuhnya mengadopsi 40 rekomendasi dan 8 rekomendasi khusus yang mereka keluarkan.
Undang-undang tersebut kemudian disempurnakan dengan diundangkannya undang-undang no.25 tahun 2003 tentang perubahan undang-undang no.15 tahun 2002 pada tanggal 13 Oktober 2003 . Pokok-pokok perubahan dan undang-undang itu meliputi: pertama, penegasan pengertian pencucian uang, mengubah pendekatan dalam penetapan tindak pidana asal dari system tertutup menjadi system terbuka. Kedua, memperluas cakupan tindak pidana pencucian uang. Ketiga, lebih mnegaktifkan pelaksaan tugas PPATK. Keempat, memperkuat kerahasiaan data. Kelima, memperluas bentuk kerjasama internasional dan terakhir keluwesan dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan internasional dalam penangannan pencucian uang. Prosespembangunan rezim anti pencucian uang yang efektif dimulai dengan beroperasinya PPATK secara penuh pada 17 Oktober 2003.
Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang tersebut. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar rinternasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Maka dari itu kemudian diubah dengan undang-undang no.8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Materi muatan yang terdapat dalamUndang-Undang ini, antara lain:
a. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana PencucianUang;
b. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;
c. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksiadministratif;
d. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa
e. perluasan Pihak Pelapor
f. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
g. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
h. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;
i. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadappembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atauke luar daerah pabean;
j. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untukmenyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
k. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis ataupemeriksaan PPATK;
l. penataan kembali kelembagaan PPATK;
m. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untukmenghentikan sementara Transaksi;
n. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana PencucianUang; dan
o. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal daritindak pidana.
Untuk memperkuat rezim anti pencucian uang di Indonesia, upaya yang harus dilakukan adalah memperkuat empat pilar rezim , yaitu :
1. Hukum dan peraturan perundang-undangan
Hal ini dimaksudkan agar tersedianya kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan yang kuat yaitu yang dapat menciptakan ketegasan dan kejelasan tentang rezim anti pencucian uang sehingga mempermudah proses penegakannya.
2. System teknologi informasi dan sumber daya manusia
Hal ini bertujuan untuk menyediakan sarana informasi dan komunikasi global yang terintegrasi dan terjamin keamanannya, serta menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, terampil, dan memiliki moral yang tinggi yang pada gilirannya dapat mengefektifkan dan mengefisienkan rezim anti pencucian uang.
3. Analisis dan kepatuhan
Hal ini untuk membangun suatu kondisi yang dapat mendorong Penyedia Jasa Kaunagan (PJK) dan instansi lain memahami peranan dan kewajibannya dalam rezim anti pencucian uang khususnya dalam kewajiban penyampaian laporan sebagai sumber data analisis oleh PPATK. Dari hasil analisis laporan-laporan tersebut diharapakan mampu menghasilkan suatu kesimpulan yang memiliki kualitas sehingga dapat membantu penegak hukum secara optimal dalam penegakan hukumnya.
4. Kerjasama dalam negeri dan internasional
Hal ini ditujukan untuk mempererat kerjasama antar instansi domestic dan kerjasama internasional sehingga akan dapat diciptakan koordinasi lintas sektoral secara efektif dan efisien. Disamping itu kerjasama dengan sesama FIU untuk dapat mempercepat terjdainya tukar menukar informasi tanpa perlu mengorbankan aspek kerahasiaan.




C. KESIMPULAN

Dari uraian yang di paparkan dalam bab pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia dilihat dari segi systemnya sudah baik dengan kriminalisasi undang-undang pencucian uang dengan memperhatikan ketentuan Internasional dari FATF. Seiring dengan perubahan waktu pemerintah pun turut memperbaiki undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang sehingga sesuai dengan Rekomendasi dari FATF yang merupakan standard yang dikeluarkan oleh FATF dan wajib dipakai oleh masing-masing negara dan diterapkan secara internasional dengan konsisten. Hal ini terbukti dengan adanya perubahan undang-undang mengenai tindak pidana pencucian hingga tiga kali, yang pertama adalah undang-undang no.15 tahun 2002 yang kemudian diubah dengan undang-undang no.25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang dan terakhir di ubah dengan undang-undang no.8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Dengan adanya undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang ini maka dapat digunakan untuk membantu memerangi kejahatan terorganisir, menurunkan tingkat kriminalitas dan membantu menciptakan integritas dan stabilitas system keuangan.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang ini juga harus di barengi dengan aparat penegak hukum dalam hal ini dapat disebut bagian dari rezim anti pencucian uang di Indonesia yang mempunyai komitmen besar dalam pemberantasan tindak pidana ini tanpa adanya penegak hukum yang komitmen pada pemberantasan tindak pidana pencucian uang ini maka penegakan hukum tidak akan berjalan mulus sesuai apa yang di harapkan pada tujuan sistemnya.



DAFTAR PUSTAKA

Yunus Husein, Urgensi Undang-undang No.15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian UangSsebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25 tahun 2003, makalah yang disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kejaksaan Agung, tanggal 28 September 2004, di Yakarta

Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) tanggal 18 Juni 2001 dan Peraturan Bank Indonesia No.3/23/PBU2001 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) tanggal 13 Desember 2001.

Republik Indonesia, Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25 tahun 2003

Republik Indonesia, Undang-undang No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang



ANALSIS TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP




LATAR BELAKANG

Moeljatno, mendefinisikan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. sedangkan Van Hamel, mendefinisikan yaitu kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Kemudian Mezger juga mendefinisikan tindak pidana, yaitu keseluruhan syarat untuk adanya pidana. Sementara itu, J. Baumann memberikan tindak pidana, yaitu perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
Tindak pidana juga dibagi menjadi Tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formal dan tindak pidana materiel, tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana dengan kealpaan,tindak pidana commissionis, tindak pidana omissionis dan tindak pidana commissionis per omissionem commissa, tindak pidana berlansung terus dan tidak berlangsung terus, tindak pidana ringan dan tindak pidana berat, tindak pidana ekonomi dan tindak pidana politik.
Kerusakan lingkungan merupakan persolan yang serius jika dilihat dari akibat yang di timbulkan tidak hanya akan berdamapak pada lingkungan tetapi juga juga menyangkut kesejahteraan masyarakat. Konstiutsi Negara Republik Indonesia ( UUD RI 1945) menjamin hak-hak warga negaranya untuk memperoleh kesejahteraan, mempertahankan hidupnya, memperoleh jaminan, perlindungan dan kepastian hukum hal ini tertuang dalam batang tubuh UUD RI 1945 yaitu :
Pasal 28A menyatakan setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
Pasal 28D menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, pelindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayananan kesehatan
Jika dilihat dari dasar aturan atau norma paling tinggi dalam tata urutan peraturan pembentukan undang-undang menurut uu no.12 tahun 2011 yang mengacu pada stenbau teori hans kellsen tersbut maka merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat guna memenuhi hak-hak nya sebagai warga Negara.
Menurut pasal 1 ayat 1 undang-undang no.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelansungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan kalau kita bicara tentang kerusakan lingkungan maka oleh Undang-undang nomor 32 tahun 2009 didifinisikan sebagai perubahan langsung dan/tidak langsung terhadap sifat fisik,kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kalau perusakan lingkungan hidup itu tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung dan/tidak langsung terhadap sifat fisik,kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup,zat,energy, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Dengan adanya potensi pengrusakan lingkungan hidup tersebut yang berdampak pula pada kesejahteraan masyarakat maka undang-undang no.32 tahun 2009 tersebut mengatur sanksi pidana terhadap tindakan pengerusakan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup dan lain sebagainya yang berdampak besar bagi kesehatan masyarakat, berikut akan diuraikan analisis mengenai tindak pidana dalam undang-undang no.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui bab pembahsan guna mengetahui lebih jelas terhadap kualifikasi tindak pidana dalam undang-undang tersebut beserta ketentuan pidananya serta kesesuaian antara undang-undang no. 32 tahun 2009 dengan UUD RI 1945.


PEMBAHASAN

A. ANALISIS TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009

Pembahasan tentang tindak pidana sebagai masalah pokok hukum pidana akan memperlihatkan arti pentingnya tindak pidana sebagai salah satu dari tiga masalah pokok hukum pidana. Tiga masalah pokok hukum pidana, meliputi:

a. Masalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana;
b. Masalah pertanggung jawaban pidana dari si pelaku atau kesalahan;
c. Masalah sanksi atau pidana.

Dalam undang-undang no.32 tahun 2009 ini masalah pokok hukum pidana tersebut diatur di dalam ketentuan pidana dalam bab XV yang terdiri dari dua pulh tiga pasal yaitu pasal 97 sampai dengan pasal 120, sebagaimana dijelaskan pada bab II bagian C mengenai Telaah Umum Tentang Tindak Pidana dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam bab II dijelaskan mengenai unsure tindak pidana, saya mengambil unsur tindak pidana menurut D. Simons, Ia membedakan unsur-unsur tindak pidana menjadi sujektif dan objektif. Unsur objektif dalam tindak pidana meliputi:

a. Perbuatan orang;
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai keadaan itu, seperti di muka umum pada Pasal 181 KUHP.
Unsur subjektif dalam tindak pidana meliputi:
a. Orang yang mampu bertanggung jawab;
b. Adanya kesalahan (dolus/culpa).

Dilihat dari unsur-unsur tersebut maka dalam undang-undang no.32 than 2009 memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif dalam delik pidananya yaitu meliputi :
a. Unsur obyektif :
Unsur obyektif dalam undang-undang ini meliputi segala perbuatan yang menyebabkan adanya akibat berupa kerusakan lingkunganyang merugikan masyarakat yaitu meliputi perbuatan yang mngakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dan segala bentuk larangan yang terdapat dalam pasal 69 undang-undang no.32 tahun 2009.

b. Unsure subyektif
Bahwa dalam undang-undang tersebut menyebutkan adanya unsure kesengajaan dari pelaku tetapi juga menyebutkan unsur kealpaan pada tindakan tertentu, berikut contoh pasal-pasalnya yang menguraikan kesengajaan dan kealpaan,
• Unsure kesengajaan :

Pasal 98
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air laut, atau criteria bau kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miiar rupiah).

• Unsur kealpaan :
Pasal 99

1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampainya baku mutu udara ambient, baku mutu air laut, atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miiar rupiah).

Sebenarnya unutuk dapat membedakan mengenai unsur kesengajaan dan kelalaian dapat dilihat dari rumusan delik yang menyatakan kalimat yang saya tandai dengan huruf tebal dalam pasal diatas yaitu “yang dengan sengaja” dan “yang karena kelalaiannya”


B. KESESUAIAN ANTARA UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 DENGAN UUD RI 1945

Jika kita melihat dalam pasal-pasal di dalam UU no.32 tahun 2009 tersebut masih terdapat ketidaksesuaian antara UU tersebut dengan UUD RI 1945, hal ini terdapat diantaranya :

Pasal 100

1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda plaing banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tana izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).


Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amadal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaiman dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf I dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar)

Pasal 111
1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam pasa 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara plaing lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)

Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Pasal 113
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebgaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama (satu) tahun dan denda paling bnayak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Pasal 114
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Pasal 15
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus juta ruiah)

Dengan melihat ketentuan dari pasal-pasal diatas betapa terlihatnya kelemahan hukuman pidana bagi pelanggar ketentuan undang-undang tersebut, disana terlihat betul adanya relativitas terhadap hukuman yang dikenakan dengan menggunakan kalimat “paling lama” untuk hukuman pidana penjara dan “paling banyak” untuk hukuman denda.
Frasa “paling lama” dan “paling banyak” ini mengandung makna tidak adanya ketentuan minimum bagi sanksi tindak pidana tersebut sehingga hukuman dapat dikenakan dengan hukuman paling ringan yaitu bisa sampai pada putusan bebas dari hukuman karena tidak adanya batasan minimum hukuman. Hal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum yang terdapat pula dalam UUD RI 1945 yang terdapat dalam Pasal 28D menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, pelindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dengan adanya relativitas yang terdapat dalam pasal diatas maka Negara tidak menjamin kepastian hukum terhadap warga negaranya.
Selain itu dalam Pasal 111 ayat (1) mengungkapkan “Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam pasa 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)” dan pasal 112 mengungkapkan “Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” serta dalam Pasal 114 mengungkapkan “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

Kita lihat bahwa setiap pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL dan pejabat yang tidak melakukan pengawasan serta pengusaha yang tidak menjalankan paksaan dari pemrintah (aturan) di pidana dengan pidana yang ringan yang dimana disitu masih di mungkinkan untuk pejabat tersbut bebas dari pidana dengan adanya rekativitas pidana tersebut. Hal ini jelas betentangan dengan konstitusi (UUD RI 1945) yang tertuang dalam pasal 28A,28D dan 28H dengan tidak memberikan perlindungan dan jaminan kepada masyarakatnya jika pemerintah bebas mengeluarkan ijin lingkungan yang tidak berdasar prosedur dan juga akan berakibat pada kerusakan lingkungan sampai pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Dengan tidak adanya sanksi yang tegas bagi pejabat pemerintah serta pengusaha maka pelanggaran terhadap lingkungan hidup yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat akan terus bertambah, maka dari itu perlunya mengkaji ulang undang-undang no.32 tahun 2009 yang lebih memprioritaskan pada kepastian hukum dan keadilan social yang sesuai dengan UUD RI 1945.